PENGUJIAN EKSPLOITASI
HAK EKSLUSIF PENCIPTA/PEMEGANG HAK CIPTA
DALAM ATURAN HAK CIPTA DAN ATURAN PERSAINGAN
Oleh: Rahmi Jened*
This paper shows that the grant of exclusive right is to give opportunity for the Copyright’s holder or owner to exploit and recoup investment of their intellect creation and to protect them from Copyright infringement. However, the need for adequate rewards and incentives cannot justify abusive conduct of Copyright’s holder or owner in exercising his/her exclusive right. There are some limitations of exclusive right, such as standard of copyright’s ability, compulsory license etc. There are also some consideration such as public order and morality as norm of limitation. Most of these norms explicitly stated in Indonesian Copyright Law, even though still need to strengthen its law enforcement.
There are two criteria to determine Copyright’s holder or owner abusive conduct that Copyright Law norms and Competition Law norms. Subsequently, adequate Copyright protection can not justify a complete immunity to Copyright holder or owner from the rules designed to protect fair competition in market, such as free movement of goods principle and essential facility doctrine. These rules are important to test the conflict and interface between Copyright Law and Competition Law. Unfortunately, Indonesian competition law has not adopted those principles, on the contrary, Law Number 5 of 1999 about Prohibition of Monopoly Practices and Unfair Competition, especially Article 50 alphabet b excludes Copyright from the competition law implementation.
Key words:
- exclusive right
- abuse of exclusive right
- copyright
- copyright’s holder/owner
- copyright law
- antitrust law or competition law.
- I. Pendahuluan
Penegakkan Hak Cipta dalam kasus-kasus tertentu seolah-olah dianggap melanggar atau bertentangan dengan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM), namun harus disadari bahwa sesungguhnya Hak Cipta sebagai salah satu bidang Hak Kekayaan Intelektual sekaligus merupakan bagian dari (perlindungan) Hak Asasi Manusia itu sendiri.1 Hal ini dapat dilihat dari sistem perlindungan Hak Cipta yang bersifat otomatis (automatic protection) sebagai suatu anugerah dari Tuhan Y.M.E2 dan hak ini dijamin oleh Article 27 Universal Declaration of Human Rights yang terjemahan bebasnya sebagai berikut:
1) Setiap orang mempunyai hak kemerdekaan berpartisipasi dalam kehidupan budaya masyarakatnya, menikmati seni dan mengambil bagian dan mengambil manfaat dari kemajuan ilmu pengetahuan.
2) Setiap orang mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas kepentingan moral dan materiil yang merupakan hasil ciptaan seorang pencipta di bidang ilmu pengetahuan, sastra dan seni.
Dengan demikian sebenarnya pelaksanaan dan penegakkan Hak Cipta secara benar bukan merupakan suatu tindakan yang melanggar HAM. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa Pencipta atau Pemegang Hak Cipta yang memiliki hak ekslusif (exclusive right) merupakan monopoli yang bersifat terbatas (limited monopoly) yang juga bersifat barrier to entry bagi kompetitornya. Jadi yang harus dijaga dan perlu diwaspadai jika pencipta atau pemegang Hak Cipta mengeksploitasi haknya diluar normal exploitation. Makalah ini bermaksud mencermati persinggungan (interface) antara aturan Hak Cipta dan aturan Persaingan.
- Aturan Hak Cipta
Sebagaimana telah diketahui bahwa pada tahun 1994 di Marakesh Uruguay, telah tercapai kesepakatan global dengan Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (Agreement on Establishing the World Trade Organization -WTO) yang telah disahkan oleh Indonesia melalui UU No. 7/1994 dengan salah satu agendanya Persetujuan Aspek-Aspek Dagang yang Terkait dengan Hak Kekayaan Intelektual Termasuk Perdagang Barang Palsu (Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights Including Trade in Counterfeit Goods – TRIPs). WTO bertujuan untuk mencapai Persaingan Sehat (fair competition), sedangkan TRIPs bertujuan untuk meningkatkan perlindungan dan penegakan hukum di bidang HKI 3 serta memperketat aturan mengenai barang-barang palsu. Dalam pelaksanaannya, TRIPs mendasarkan diri pada the Berne Convention for the Protection of Literary and Artistic Works (selanjutnya disebut Berne Convention) sebagai basis minimal perlindungan Hak Cipta yang harus dipatuhi oleh Negara anggota.
A. Aturan Standard of Copyright’s Ability Sebagai Dasar Perlindungan Hak Cipta
Hak Cipta adalah hak ekslusif bagi Pencipta atau Penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 1 Angka 1 UU No. 19/2002 Tentang Hak Cipta). Pencipta adalah seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama yang atas inspirasinya melahirkan suatu ciptaan berdasarkan kemampuan pikiran, imajinasi, kecekatan, ketrampilan atau keahlian yang dituangkan dalam bentuk khas dan bersifat pribadi (Pasal 1 Angka 2 UUHC). Sedangkan Ciptaan adalah hasil setiap karya Pencipta yang menunjukkan keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni dan sastra (Pasal 1 Angka 3 UUHC).
Ada standar agar suatu ciptaan dibidang ilmu pengetahuan seni dan sastra dapat
dilindungi hak cipta (standard of copyright’s ability) yaitu :4
1. Originality
The word “original”… or the test of “originality”, is not that the work be novel or unique. Even a work based upon something already in the public domain may well be original.
2. Creativity
Creativity as a standard of copyright ability is to a great degree simply a measure of originality. Although a work that merely copies exactly a prior work may be held not to be original, if the copy entails the independent creative judgment of the author in its production, that creativity will render the work original.
3. Fixation
A work is fixed in a tangible medium of expression when its embodiment in a copy or phonorecord by or under the authority of author, is sufficiently permanent or stable to permit to be perceived, reproduced or otherwise communicated for a period of more than transitory duration. A work consisting of sound imager or both, that are being transmitted is fixed for purpose of this title if a fixation of the work is being made simultaneously with its transmission.
Persyaratan Ciptaan yang pertama adalah pemenuhan unsur keaslian (originality) yang normanya ada dalam Pasal 1 Angka 3 UU No. 19/2002. Berkaitan dengan syarat ” keaslian” (originality) ini, Miller mengemukakan bahwa : 5
The essence of copyrights is originality, which implies that the copyrigh owner or claimant originated the work. By contrast to a patent, however, a work of originality need not to be novel. An author can claim, copyright in a work as long as he created it himself, even if a thousand of people created it before him. Originality does not imply novelty; it only implies that the copyright claimant did not copy from, someone else…..
Hal mendasar pada Hak Cipta adalah keaslian (originality) yang menyiratkan bahwa yang bersangkutan tidak secara keseluruhan meniru dari orang lain. Jadi mungkin saja dua orang pencipta secara mandiri menciptakan karya yang (hampir) sama, keduanya dapat dilindungi hak cipta tanpa melanggar Hak Cipta satu dengan lainnya. Keaslian dalam system hukum Civil Law System yang kita anut meminta derajat yang sangat tinggi dengan memperhatikan personality sebagai kepribadian yang tercetak dalam karyanya. Keaslian sebagai yang ditentukan oleh Hak Cipta bukan keaslian ide atau pemikiran, tetapi keaslian dalam melaksanakan atau membuat bentuk khusus yang disyaratkan untuk menuangkan ide dan pemikiran tersebut (dalam bentuk material), sebagaimana dikemukakan oleh James Lahore yaitu :6 “Thus originality for the purposes of Copyright law is not originality of ideas or thought but originality in the execution of the particular form required to express such ideas or thought”. Jadi antara ‘pencipta’ dengan ‘keaslian’ ada kaitan yang erat. Pencipta adalah seseorang yang memberikan eksistensi pada sesuatu.
Persyaratan Ciptaan yang kedua adalah kreativitas (creativity) yang normanya terdapat dalam Pasal 1 Angka 2 UU No. 19/2002. Jika suatu karya berasal dari pencipta sebagai hasil kemampuan pikiran, imajinasi, kecekatan, ketrampilan, keahlian, serta pengalamannya dan tidak meniru dari orang lain dapat dikatakan sebagai ciptaan yang dilindungi Hak Cipta. Keaslian dan kreativitas merupakan hubungan kausalitas, jika keaslian dipenuhi dengan sendirinya ada unsur kreativitas, tetapi tidak sebaliknya. Kreativitas menyiratkan adanya hubungan sebab akibat antara pencipta dan ciptaannya.
Perwujudan (fixation) dalam bahasa UU No. 19/2002 dirumuskan sebagai “bentuk yang khas dan bersifat pribadi” (Pasal 1 Angka 2 UU No. 19/2002). Artinya tidak ada Hak Cipta untuk sesuatu yang terbatas pada ide. Hak Cipta melindungi perwujudan atau ekspresi dari suatu ide, bukan melindungi idenya itu sendiri. Dengan demikian yang dilindungi sudah merupakan bentuk nyata sebagai sebuah ciptaan, apapun media ekspresi yang digunakan. Sebagaimana pula dinyatakan oleh Strong :7
The province of copyright is communication. Works of art and literature are what copyright protects, no matter what the medium, and works whose purpose is convey information or ideas. In the words of statute, copyright protects” original work of authorship fixed in any tangible medium of expression, now known or later developed, from which they can be perceived, reproduced, or otherwise communicated, either directly or with the aid of a machine or device.
Ketiga syarat tersebut bersifat kumulatif artinya satu syarat saja tidak dipenuhi, maka suatu ciptaan tidak dapat dilindungi Hak Cipta dan pembuatnya tidak layak disebut Pencipta. Bahkan jika melihat tradisi hukum yang ada, Civil Law System dengan Author Right System atau Natural Right Justification, meminta derajat yang tingi untuk persyaratan “originality” dan “creativity” karena Hak Cipta memberikan perlindungan bagi Pencipta (author right) sebagai pihak yang memiliki “personal intellectual creation” sebagaimana The Personality Theory” dari Frederich Hegel yang dianutnya. Sebaliknya tradisi hukum Common Law System berdasarkan Copyright System atau Functionalist Justification meminta derajat yang tinggi untuk persyaratan “fixation” karena tolok ukur perlindungan adalah untuk melindungi Ciptaan dan merumuskan hak-hak terbatas (restricted right) atas penggunaan Ciptaan. Pemikiran ini dipengaruhi oleh John Locke dengan teorinya The Fruit of Labour.8
Perlindungan Hak Cipta seperti Hak Asazi Manusia, bersifat otomatis (automatic propection), asal ciptaannya memenuhi standard of copyright’s ability. Namun demikian sangat sulit untuk menentukan “siapa pencipta yang sebenarnya dalam kasus sengketa Hak Cipta”. Oleh karena itu untuk kepentingan pembuktian, dihimbau agar karya cipta didaftarkan (sebenarnya lebih tepat diadministrasikan) di Ditjen HKI Departemen Hukum dan HAM. Pendaftaran ciptaan (karyanya) bukan untuk memperoleh Hak, tetapi sebagai bukti awal (prima facie) jika timbul sengketa. Dengan demikian jika seorang Pencipta tidak mendaftarkan ciptaannya, bukan berarti yang bersangkutan tidak dapat mempertahankan keabsahan haknya tanpa adanya petikan pendaftaran ciptaannya (yang disalahkaprahkan sebagai sertifikat oleh masyarakat luas, termasuk penegak hukum). Pencipta tersebut dan aparat penegak hukum dapat mendayagunakan dan menilai segala alat bukti yang ada. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan Pasal 2 jo. Pasal 35 Ayat (4) jo. Pasal 36 UU No. 19/2002.9
Hak Cipta memiliki dimensi Hak Ekonomi (economic right) dan Hak Moral (moral right). Hak ekonomi diatur dalam Pasal 2 UU No. 19/2002 mencakup Hak untuk mengumumkan (performing right)10 dan memperbanyak (mechanical right)11 serta hak untuk penyewaan (rental right) 12 untuk ciptaan sinematografi, rekaman suara dan program komputer. Hak ekonomi ini sebagai reward13 atau insentive14 merupakan kompensasi bagi Pencipta untuk pengorbanannya dari sisi waktu, biaya dan energi yang tidak sedikit dalam menghasilkan ciptaan. Sedangkan Hak Moral (moral right) meliputi :15
a. The right to attribution (hak kualitas kepemilikan)
yaitu hak dicantumkan (dikenal) namanya sebagai pencipta dan mencegah orang atau pihak lain yang mencoba mengakui sebagai pencipta.
b.The right to integrity (hak atas integritas)
yaitu hak untuk menolak suatu pengrusakan, perubahan dan tindakan lain yang dapat merusak reputasi dan kehormatam pencipta.
c. The right to divulge (hak untuk memperkenalkan karyanya pada masyarakat)
yaitu hak pencipta untuk memutuskan jika dan bilamana suatu karya dibuka pada masyarakat.
- The right to withdraw (hak untuk menarik karyanya) yaitu hak pencipta untuk menarik suatu karya dari khasanah publik.
Hak ini mencakup integritas pencipta tidak boleh dihilangkan (nama, judul ciptaan, isi ciptaan tidak boleh dirubah tanpa izin (Pasal 24). Selain itu menyangkut Hak Moral (moral right) termasuk informasi elektronik tentang informasi manajemen16 hak Pencipta tidak boleh ditiadakan atau dirubah (Pasal 25).
Berbicara tentang Sarana Kontrol Teknologi saat ini telah diatur dalam UUHC dalam Pasal 27 dan 28 UUHC sebagai berikut:
Pasal 27
Kecuali dengan izin Pencipta, sarana kontrol teknologi sebagai pengaman hak Pencipta tidak boleh dirusak, ditiadakan atau dibuat tidak berfungsi.
Pasal 28
1) Ciptaan-ciptaan yang menggunakan sarana produksi berteknologi tinggi, khususnya di bidang cakram optik (optical disc), wajib memenuhi semua peraturan perizinan dan persyaratan produksi yang ditetapkan oleh instansi yang berwenang
2) Ketentuan lebih lanjut mengenai sarana produksi berteknologi tinggi yang memproduksi cakram optik sebagaimana diatur dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan ini terkait dengan Digital Agenda yakni agenda yang diatur dalam World Intellectual Property Organization (WIPO) Performers and Phonograms Treaty (WPPT) dan WIPO Copyright Treaty (WCT) yang disahkan dengan Keppres No. 19/1997 dalam menyikapi perkembangan yang pesat dari internet dan teknologi digital.
Dalam kedua treaty tersebut, Sarana Teknologi (tecnological measure) secara luas didefinisikan sebagai :”any technology, device or component that, in formal course of its operation , its designed to prevent or restrict acts, in respect of works or other subject matter, which are not authorized by the rightholder of any copyright, related right or the sui generic right “. Disini juga diintrodusir istilah Hak Informasi Manajemen (right management information) yang diartikan sebagai:” is any information provided by the right holders which identifies the work, its author or owner, or information about the terms and conditions of use of work and any numbers or codes that represent such information”.
Berkaitan dengan sarana kontrol teknologi dan Hak Informasi Manajemen ada 3 (tiga) lapis perlindungan yakni:17
- 1. Perlindungan Hak Cipta dan Hak Terkait (copyright and neighbouring right protection);
- 2. Perlindungan teknik untuk menutup akses (technical protection to block access);
- 3. Perlindungan Hukum melawan Pembobolan (legal protection against circumvention).
Hal ini diatur dalam Article 11 WCT menentukan bahwa:
Contracting parties shall provide adequate legal protection and effective legal remedies against the circumvention of effective technological measures that are used by authors in connection with the exercise of their rights under this treaty or the Berne Convention and that restricted acts in respects of their works which are not authorized by the authors concerned or permitted by law.
Sarana teknologi ini dianggap efektif jika penggunaan ciptaan yang dilindungi Hak Cipta atau ciptaan lainnya dikontrol oleh Pemegang hak melalui penerapan kontrol akses atau proses perlindungan, seperti kode rahasia, password, bar code, serial number teknologi enkripsi encryption, teknologi deskripsi (decryption), scrambling atau transformasi lain dari ciptaan, atau ciptaan lain, atau suatu mekanisme kontrol pengcopyan yang dapat menjamin perlindungan ciptaan secara obyektif.
Kedua treaty tersebut, pada dasarnya untuk mengharmonisasikan ketentuan yang terkait dengan hak ekonomi (economic right) yang mendasar dalam Hak Cipta bukan dalam kaitannya dengan hak moral (moral right) sebagaimana pengaturan UU No. 19/2002 kita. Hal tersebut mengingat adanya ketentuan sebagai perluasan Hak Ekonomi. Pertama, memperluas hak pengkomunikasian pada masyarakat (the communication to the pulic right) yang terdapat dalam Berne Convention, yakni termasuk mengumumkan dalam bentuk citra dan teks (text and image). Kedua, menambahkan adanya Hak Penyediaan secara Memadai bagi Masyarakat (the right of making available to the public) karena penentuan akses tidak lagi tergantung pada Pencipta, tetapi terserah pada pengguna (user) internet kapan dan dimana yang bersangkutan ingin mengakses ciptaan. Ketiga, memberikan perlindungan dari tindakan yang bersifat penyalahgunaan teknologi, penghapusan atau penghilangan hak pengelolaan informasi secara elektronik yang melekat pada ciptaan yang dilindungi Hak Cipta. Standar ini juga harus diterapkan bagi karya pertunjukan dan karya rekaman suara yang dilindungi berdasarkan Hak Terkait dengan Hak Cipta .
B. Aturan Pembatasan (limitation) Untuk Menguji Eksploitasi Hak Cipta
Ekploiasi Hak Cipta juga bisa diuji aturan pembatasan (limitation) hak eksklusif atau penggunaan wajar (fair dealing) kreasi intelektual. Pembatasan pertama didasarkan pada pertimbangan kepentingan umum (public interest). Cicero menyatakan bahwa:” the good of the people is the chief law”.18 Hal senada dikemukakan oleh Sir Richard Steele yang mengatakan:“The noblest motive is public good“.19 Manakala mempertimbangkan ketertiban umum ataupun kepentingan umum, ada yang harus diingat bahwa keadilan (justice) harus dan harus selalu dilakukan. Ketertiban umum atau kepentingan umum tidak tunduk pada uji objektif tertentu, namun motif penghargaan yang inheren yang utama adalah kebaikan masyarakat umum. Dalam situasi dan kondisi khusus kebutuhan mayoritas mengalahkan kebutuhan individu dan warganegara harus mengalahkan kepentingannya untuk kebaikan masyarakat keseluruhan secara luas. Hak eksklusif Hak Cipta dapat dibatasi untuk kepentingan masyarakat atau Negara yang lebih luas sebagaimana dalam Panel WTO dinyatakan: ”legitimate interest as a normative claim calling for the protection of interest that are’justifiable’ in the sense that they are supported by relevant public policies or other social norms”. 20
Pembatasan utama Hak Cipta dengan adanya kewenangan negara untuk melarang pengumuman, penggunaan dan pelaksanaan Hak Cipta yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, moralitas agama, ketertiban umum dan kesusilaan (Pasal 17 UU No.19/2002) Beberapa Negara anggota menetapkan bahwa masalah kesehatan dan nutrisi merupakan area yang sejalan dengan kepentingan publik, demikian pula dengan masalah pertahanan dan keamanan negara serta lingkungan hidup.
Penekanan public interest sebagai suatu keseimbangan disatu sisi hak dari Pencipta dan disisi lain kepentingan masyarakat untuk mengakses Ciptaan. Hak Cipta tunduk pada pembatasan untuk penggunaan pribadi atau kepentingan ilmu pengetahuan. Jadi sistem Hak Cipta untuk mennyeimbangkan pengeksploitasian Hak Cipta untuk ciptaan dan produksi karya seni dan sastra dan untuk menjawab kepentingan umum dalam hal ketersediaan secara luas materi Ciptaan. Hal ini sesuai dengan pernyataan:21
Today the subject attracts a great deal of interest and indeed, debate. Both aspects of the public interest in copyright are now generally recognised . On the one hand, copyright is acknowledged to be a motor for stimulating creative activity, thereby promoting learning and progress for the benefit of the public; on the other hand, limitations and exceptions to copyright answer to the public interest in the widdest possible availability of copyright material. A successful copyright law must find a balance between these two goals of public policy.
Dalam Berne Convention diatur ketentuan pembatasan (limitation) yang terkait dengan de minimis doctrine/de minor reservations doctrine. Artinya berdasarkan doktrin tersebut, hak ekslusif pencipta tidak dilanggar dalam hal penggunaan ciptaan secara minimal atau persyaratan minimal. Pembatasan mencakup penggunaan ciptaan secara wajar untuk tujuan: 22
- a. Public speech
- b. Quotation
- c. School book and chrestomathies
- d. Newspaper articles
- e. Reporting current events
- f. Ephemeral recordings
- g. Private use
- h. Reproduction by photocopying in libraries
- i. Reproduction in special characters for the use of the blind
- j. Sound recording of literary works for the use of blind
- k. Text of the songs
- l. Sculptures on permanent display in public places
- m. Artisics work used as a background in films or television programmes
- n. Reproduction in the interests of public safety.
Di Indonesia ketentuan pembatasan terdapat dalam Pasal 14 sampai dengan 24 UU No. 19/2002.
Di luar konteks tersebut, pembatasan Hak Cipta diuji berdasarkan pada three step test (yang diatur dalam Article 13 TRIPs dan Article 9(2) Berne Convention serta Article 16 WPPT :“Members shall confine limitation or exception to exclusive rights to certain special cases which do not conflict with a normal exploitation of the work and do not unreasonably prejudice the legitimate interest of the right holder”. Three step test bertujuan untuk menguji apakah aturan pembatasan dalam Hak Cipta tidak disalahgunakan dan sekaligus memberikan keseimbangan antara pemberian hak ekslusif dan persyaratan dalam hak cipta yang juga membatasi hak ekslusif. Penggunaannya mengikuti tiga tahapan yang bersifat kumulatif dan berdasarkan urutan yakni:23
- 1. Criterion 1: Basic rule: limitation must be certain special cases;
- 2. Criterion 2: First condition delimiting the basic rule: No conflict with a normal exploitation-compulsory licences impossible;
- 3. Criterion 3: Second condition delimiting the basic rule: no unreasonable prejudice to legitimate interests-compulsory licences possible.
Seperti dalam kasus Dalam kasus Technological Information Library Hannover (TIB).24 TIB adalah lembaga yang memiliki spesialisasi dalam penyediaan literature dibidang teknologi, kimia, matematika dan informasi teknologi. Berdasarkan permintaan seorang atau perusahaan , perpustakaan menyediakan fotocopy dari artikel yang diterbitkan oleh journal berkala dan mengirimkannya melalui email atau fax dan menyediakan katalog elektronik yang dapat diakses secara elektronik. Kasus ini diuji oleh pengadilan berdasarkan three step test . Certain special cases, kasus ini terkait dengan personal use dan kepentingan yang dipengaruhi kepentingan umum untuk memperoleh akses informasi. Normal exploitation dilihat dari implikasinya dipasar dari kegiatan TIB, yang dielaborasi oleh pengadilan bahwa penyebarluasan copy dalam perkembangan ekonomi dan teknologi saat ini, secara fungsional mampu melengkapi cara biasa pengkomunikasian pada ciptaan melalui publikasi, sehingga seolah perpustakaan bertindak selaku penerbit dan hal ini bertentangan dengan normal exploitation. Partisipasinya dalam pengeksploitasian ciptaan karena perkembangan teknologi dan ekonomi dapat dianggap secara ekonomi mengganggu hak ekploitasi pencipta. Sebaliknya, secara a-contrario, norma pembatasan termasuk three step test dapat dipakai juga untuk menguji apakah Pencipta/Pemegang Hak Cipta mengekploitasi haknya di luar ekploitasi normal, yang tentunya hal tersebut merupakan indikasi penyalahgunaan hak eksklusifnya.
C. Aturan Perjanjian Lisensi Untuk Menguji Eksploitasi Hak Cipta
Lisensi (licence) diartikan sebagai :25 “A personal privilege to do some particular act…. and is ordinary revocable at the will of Licensor and is not assignable”. Dalam UU No. 19/2002, lisensi didefinisikan sebagai: “Ijin yang diberikan oleh Pencipta/ Pemegang Hak Cipta kepada pihak lain berdasarkan perjanjian untuk menikmati manfaat ekonomi (hak eksklusif) dalam jangka waktu dan syarat tertentu”.
Berkaitan dengan perjanjian lisensi, Article 40 TRIPS yang mengatur Pengendalian Praktek Persaingan Curang dalam Perjanjian Lisensi yang menetapkan:
Members agree that some licensing practices or conditions pertaining to intellectual property rights which restrain competition may have adverse effect on trade and may impede the transfer and dissemination of technology. Nothing in this agreement shall prevent members from specifying in their legislation licensing practies or conditions that may in particular cases constitute an abuse of intellectual property rights having an adverse effect on competition in the relevant market…
Bahkan Philip Griffth menyatakan : “its is one the criticisms aimed at intellectual property system that the legal monopoly rights provide opportunities for right owner to engage in anti competitive arrangements when granting licences and permission to use sought after right”.26 Tindakan pengeksploitasian Hak Cipta diluar ekploitasi normal yang merupakan penyalahgunaan Hak banyak terjadi dalam rangka perjanjian lisensi.
Di Indonesia dalam ketentuan persetujuan lisensi lazimnya dibuat tidak untuk lisensi eksklusif (khusus) agar Pencipta/Pemegang Hak Cpta dapat tetap melaksanakan haknya atau memberikan lisensi yang sama bagi pihak ketiga. Dengan demikian jika diinginkan lisensi eksklusif (exclusive license), maka harus diperjanjikan secara tegas. Selain itu ada aturan larangan perjanjian lisensi (Pasal 47 UU No. 19/2002):
Perjanjian Lisensi dilarang memuat ketentuan yang dapat menimbulkan akibat yang merugikan perekonomian Indonesia atau memuat ketentuan yang mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam praktek perjanjian lisensi terdapat beberapa persoalan yang menonjol yang harus diwaspadai sebagai tindakan yang dapat melanggar aturan Hak Cipta tersebut di atas, ataupun aturan Persaingan (Anti Trust) yakni perjanjian lisensi yang terkait dengan klausula yang memuat ketentuan mengenai:
- a. Royalty
- b. Grantbacks
- c. Tying Arrangements
- d. Package Licensing
- e. Granting an exclusive license
- f. Limit on Use of Trademarks
- g. Exclusive dealing :restriction against the Licensor or Licensee Dealing in Competitiv Products
- h. Quality Restriction
- i. Field of Use Restriction
- j. Price Restriction
- k. Customer Restriction
- l. Quantity Restriction
- m. Customer Restriction
- n. Customer restriction
- o. Preserving value of Rights and Challenges to Validity of Rights.
Perjanjian lisensi yang merupakan penyalahgunaan Hak Cipta, tentunya tetap dapat dibatalkan (voidable atau vernietigbaar) oleh salah satu pihak yang dirugikan, umumnya oleh licensee berdasarkan prinsip umum hukum perjanjian. Dalam konteks perjanjian lisensi, banyak negara juga menafsirkan penyalahgunaan hak ini sebagai penyalahgunaan keadaan (undue influence atau misbruik van omstandigheden) dan sebagai suatu perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan. Penyalahgunaan keadaan terjadi apabila dalam suatu perjanjian, prestasi kedua belah pihak tidak seimbang.27 Keadaan tersebut disebabkan salah satu pihak (dalam hal ini penerima lisensi) mengalami ketergantungan baik secara kejiwaan, maupun secara ekonomi terhadap pihak lain (licensor). Oleh karena ketergantungan itu, pihak yang kuat (licensor) dengan berlindung di balik asas kebebasan berkontrak (freedom of contract) dapat menetapkan klausula yang memberatkan pihak lain.28 Penyalahgunaan hak yang ditimbulkan oleh penyalahgunaan keadaan umumnya dikaitkan dengan tidak dipenuhinya salah satu syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 BW. Pasal tersebut mengatur syarat sahnya perjanjian yang meliputi:
- kesepakatan untuk mengikatkan diri;
- 2. kecakapan untuk membentuk perjanjian;
- obyek tertentu ;
- causa sebagai tujuan yang diperbolehkan oleh hukum;
Adapun syarat yang tidak dipenuhi dalam penyalahgunaan keadaan adalah syarat kesepakatan, karena dianggap tidak adanya pernyataan kehendak yang bebas ketika memberikan kesepakatan. Untuk itu pihak yang dirugikan dapat mengajukan pembatalan bilamana ia tidak menghendaki perjanjian tersebut dan yang bersangkutan harus membuktikan:
- pihak lain telah menyalahgunakan kesempatan yang dapat berupa kesempatan karena keunggulan ekonomi ataupun keunggulan kejiwaan dan
- ia mengalami kerugian.
Kedua syarat tersebut bersifat kumulatif dan merupakan hubungan kausal satu sama lain. Dengan demikian meskipun salah satu pihak terbukti telah melakukan penyalahgunaan keadaan, tetapi jika Penggugat tidak nyata-nyata merugi atau dirugikan akibat penyalahgunaan keadaan tersebut, maka gugatannya tidak akan berhasil.29
c. Aturan Exhaustion Right Untuk Menguji Eksploitasi Hak Cipta
Satu hal lagi yang dapat dijadikan tolok ukur untuk menguji ada tidaknya ekplotasi Hak Cipta diluar eksploitasi normal yang mengindikasikan penyalahgunaan hak adalah doktrin atau aturan exhaustion rights. Prinsip dan aturan exhaustion right diatur dalam Article 6 TRIPs: “for the purpose of dispute settlement under this agreement, subject to the provisions of article 3 and 4 nothing in this agreement shall be used to address the issue of the exhaustion of intellectual property rights”. Secara eksplisit tidak ada pengaturan exhaustion right dalam peraturan perundang-undangan Hak Cipta di Indonesia,30 namun secara implisit dapat dilihat terkait dengan hak eksklusif Pencipta/Pemegang Hak Cipta utamanya yang menyangkut hak distribusi dari pemegang Hak Cipta. Prinsip exhaustion right berarti: “a right is exhausted once it is put onto the market by or with consent of the right holder. Exhaustion can only occur once a physical protected good has been placed on the market by or with the consent of the owner”. 31
Prinsip ini sudah mapan dalam hukum HKI pada umumnya dan Hak Cipta secara khusus di Uni Eropa dan hukum nasional negara maju. Prinsip ini mengatur bahwa pemegang HKI tidak dapat menggunakan hak eksklusifnya untuk melarang penjualan atau mengontrol pemasaran berikutnya dari produk atau barang yang bermuatan HKI yang pada saat penjualan pertama (first sale) telah dilakukan olehnya atau dengan izinnya atau berdasarkan kesepakatannya. Hal ini didasari pemikiran bahwa sipemegang HKI telah memperoleh cukup kompensasi sesuai kehendaknya pada saat penjualan pertama kali.32 Berdasarkan exclusive rights nya, pemegang HKI dapat memutuskan kapan dan dimana dia akan meletakan produk yang terkait dengan kreasi intelektualnya di pasaran untuk pertamakalinya. Namun demikian, manakala sudah diputuskan pemasarannya, maka yang bersangkutan tidak dapat mencegah produk kreasi intelektualnya itu diimpor di luar wilayah pemasaran yang telah dipilihnya pertamakali. Kasus yang cukup terkenal adalah kasus Centrafarm v. Sterling.33
Dalam hal pemegang HKI secara umum dan Pencipta/Pemegang Hak Cipta secara khusus mengeksploiasi haknya di luar eksploitasi normal dan melanggar ketentuan exhaustion right, maka hal ini tidak membawa akibat hukum pembatalan. Eksistensi (existence) HKI atau Hak Ciptanya tetap ada, namun dalam pelaksanaan (exercise) HKI atau Hak Ciptanya dapat dibebani lisensi secara tidak sukarela (non voluntary licence).
- III. Aturan Persaingan Untuk Menguji Eksploitasi Hak Cipta
Sebenarnya Hak Cipta dapat dilihat sebagai turunan dari norma Persaingan Sehat (fair competition) untuk menanggulangi masalah adanya anggapan bahwa ”Kepemilikan umum atas suatu benda (public goods)” dan memastikan bahwa pendompleng (free riders) tidak akan secara mudah memperoleh manfaat atas kreasi intelektual orang lain. Perlindungan hukum HKI secara umum dan Hak Cipta secara khusus untuk menanggulangi resiko kegagalan pasar yang kerap terjadi atas produk yang dianggap sebagai milik umum. Hal ini dinyatakan oleh Julie cohen:34
Market failure , properly understood encompasses not only cases in which the parties fail to transact, or find it too expensive, but also cases in which consensual, relatively costless transactions nonetheless fail to produce particulars outcome that have been defined to be socially valuable. When market institutions fail, use of public process of law making to reshape them is entirely appropriate. Market institutions are in and of human society, not a fixed axis around which human society revolves.
Manakala lembaga pasar gagal, maka dibutuhkan simultan melalui penggunaan proses publik dari pembuatan hukum untuk membentuk kembali lembaga pasar secara layak dengan cara persaingan sehat dan infrastruktur pendukungnya, termasuk aturan Hak Cipta. Hal ini seperti yang dinyatakan oleh Stephen Sya Lieing Siew bahwa:35
The best stimulant economic activity, …is competition since it guarantees the widest possible freedom of action to all. An active competition policy makes it easier the supply and demand structures to continually adjust to technological development …Competition enables enterprises to continuously improve their efficiency through the interplay of decentralized decision making machinery, which is the sine qua non for steady improvement of living standards and employment prospects within the countries …Competition policy is from this point of view, an essential means for satisfying the individual and collective needs of society to a great extent.
Berkaitan dengan Persaingan dinyatakan bahwa:” An effective Competition policy is the sole means of making the most of potential offered by completion of larger market… More competition will also strengthen the positition of … industry in both world and domestic market. “36 HKI secara umum dan Hak Cipta secara khusus dalam konteks persaingan merupakan suatu proses penemuan (invention) dan merangsang kreativitas perusahaan-perusahaan untuk mencari produk-produk, proses-proses, pasar-pasar penjualan, dan solusi-solusi masalah efektif, yang baru,37 serta memacu kreativitas intelektual.
Namun demikian disadari adanya sifat kontradiktif antara norma Hak Cipta dan norma Persaingan. Di satu sisi, adanya penetapan hak ekslusif (exclusive right) Hak Cipta sebagai ganti atas kesenjangan produk intelektual, maka perlindungan ini menetapkan batasan untuk masuk pasar yang dapat merugikan Persaingan Sehat (fair competition). Di sisi lain justru norma persaingan bertujuan untuk mengurangi praktek praktek yang dapat mengakibatkan distorsi pasar yang dapat mempengaruhi baik perdagangan nasional maupun internasional. Dalam hal ini Hak Cipta secara aktual bekerja melawan prinsip-prinsip persaingan.
Prinsip dalam kebijakan persaingan adalah “unfair methods or competition in or affecting commerce and unfair or deceptive acts or pratices in or affecting commerce, are here by declared unlawful”. Hakekat dari persaingan adalah pentingnya persaingan dalam memfungsikan ekonomi pasar secara tepat.38 Kebijakan persaingan mengupayakan pencegahan praktek-praktek komersial yang bersifat pembatasan (restrictive commercial practices) yang akan melemahkan tingkat efisiensi produksi dan penyebarluasan arus barang dan teknologi.
Di Indonesia benturan antara aturan Hak Cipta di satu sisi dengan aturan Persaingan di sisi yang lain belum pernah teruji karena adanya ketentuan perkecualian yang terkesan memberikan keistimewaan bagi Pemegang HKI secara umum dan Pencipta/Pemegang Hak Cipta secara khusus. Hak ekslusif Pencipta atau Pemegang Hak Cipta diatur dalam UU No. 19/2002 Tentang Hak Cipta. Aturan Persaingan terdapat dalam UU No.5/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.39 Perlakuan istimewa terhadap pengusaha pemegang HKI termasuk Hak Cipta, dapat dilihat dari perkecualian yang diatur dalam Pasal 50 Huruf b No. 5/1999 yang menetapkan bahwa:
“… yang dikecualikan dari ketentuan undang-undang ini adalah…perjanjian yang berkaitan dengan HKI seperti lisensi paten, merek dagang, hak cipta, desain produk industri, rangkaian elektronik terpadu dan rahasia dagang serta perjanjian yang berkaitan dengan waralaba…”. 40
Apabila melihat ketentuan tersebut, walaupun dengan bahasa berbeda mirip dengan aturan yang terdapat dalam Article 295 (Ex. Art.222) European Community (EC) Treaty yang menentukan: : “This Treaty shall in no way prejudice the rules in Member State governing the system of ownership”. Apabila kita menelan mentah-mentah aturan Pasal 50 Huruf b UU No. 5/1999 sejalan Article 295 EC Treaty tersebut seolah-olah Hak Cipta tidak terjamah oleh aturan persaingan.
Namun apabila kita analisis lebih jauh pemegang HKI sebagai pihak yang memiliki posisi berunding (bargaining position) lebih kuat memiliki potensi yang sangat besar untuk menyalahgunakan haknya (misbruik van recht atau abuse of right).41 Keberpihakan ini tentu akan menghambat akselarasi dari upaya pencapaian Persaingan Sehat (fair competition) itu sendiri. Banyak kasus yang memperlihatkan bagaimana proteksi yang berlebihan yang diberikan kepada pengusaha tidak mampu meningkatkan kinerja (performance) dan efisiensi (efficiency)nya. Pemegang HKI telah memiliki exclusive rights yang merupakan keunggulan ‘monopoli’ atas kreasi intelektualnya. Adanya pengecualian pemberlakuan UU No.5/1999 seolah memberikan perlindungan ganda (double protection) yang sebenarnya merusak prinsip fairness and justice.
Kemudian kita beranjak pada permasalahan berikutnya: :”Apakah ketentuan Pasal 50 Huruf b UU No.5/1999 (yang senada dengan Article 295 EC Treaty) merupakan “aturan pengaman (safeguard) bagi Aturan Hak Cipta Nasional?” Sebagaimana diketahui dalam Hak Cipta ada prinsip territoriality bahwa perlindungan Hak Cipta tergantung pada Negara yang dituju dan hal tersebut diatur dalam hukum nasional masing-masing Negara.
Dalam pendekatan yang konvensional lazimnya Article ini diterapkan dengan menerapkan dikotomi antara eksistensi (existence) dan pelaksanaan (exercise) dari hak. Hal ini dapat dilihat dari kasus Consten Grundig v. Commision Case.42 Kasus ini kemudian dibawa ke European Court of Justice (ECJ) yang memutuskan bahwa “Eksistensi (existence) hak sepenuhnya kewenangan nasional Negara, namun dalam pelaksanaan hak (exercise), haruslah menghormati aturan persaingan yang dibuat oleh Masyarakat Uni Eropa (EEC Treaty)”. Inilah yang dinyatakan sebagai “It is in this policy context that the relationship between EC competition law and IPRs can be evaluated”.43
Belajar dari pelaksanaan kedua aturan yakni di satu sisi aturan HKI pada umunya dan Hak Cipta secara khusus, dan aturan persaingan pada sisi yang lain, kiranya ketentuan Pasal 50 UU No. 5/1999 jangan ditelan mentah-mentah. Hal ini sebagaimana pernyataan Steven D. Andermen44 sebagai berikut:
“…nevertheless, the need for adequate incentives for innovation cannot justify a complete immunity to IPRs from the rules designed to protect effective competition in markets. While there is no longer an assumption of an inherent conflict between two policies, certain forms of exercise of IPRs, including certain type of licensing agreement entail real risk to competition”.
Artinya Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) tetap dapat menguji pelaksanaan Hak Cipta yang keluar dari normal exploitation. Pengujian dilakukan untuk menilai apakah pelaksanaan Hak Cipta yang ditutupi dengan perjanjian yang berkaitan dengan Hak Cipta Tidak mengganggu tujuan GATT/WTO yakni Persaingan Sehat (fair competition) dan tidak bertentangan dengan tujuan diterbitkannya UU No.5/1999.45
Doktrin pembatasan perdagangan (restrain of trade) adalah melarang perbuatan pembatasan perdagangan yang dapat menimbulkan efek negatif terhadap persaingan, misalnya , menyebabkan timbulnya monopoli. Dalam perkembangannya doktrin ini diperluas bahwa tidak semua pembatasan perdagangan bertentangan dengan hukum. Hanya perbuatan-perbuatan yang mempengaruhi persaingan secara “ direct and immediate” yang dapat dianggap bertentangan dengan hukum. Dengan demikian apabila suatu tindakan memiliki efek negatif bagi persaingan, namun tidak secara langsung, tetap dianggap tidak bertentangan dengan aturan persaingan. Sebaliknya jika suatu tindakan memiliki efek langsung terhadap persaingan, walaupun tindakannya tergolong layak (reasonable) tetap dianggap melanggar aturan persaingan. Inilah yang dikatakan bahwa elemen ‘reasonableness’ tidak dapat menjadi suatu dasar pembelaan (defense).
Belajar dari pelaksanaan HKI dan aturan persaingan di Negara Eropa, issue utama yang dibawa adalah baik aturan HKI maupun aturan Persaingan adalah memfungsikan secara efektif internal market di kalangan Uni Eropa (European Community). Pasar berfungsi dengan baik jika ada Persaingan Sehat (fair competition) sebagaimana dinyatakan bahwa:” An effective Competition policy is the sole means of making the most of potential offered by completion of larger market… More competition will also strengthen the positition of European industry in both world and domestic market “.46
Dalam kondisi yang bagaimana perjanjian lisensi menjadi isu persaingan ? Ada dua hal yang harus diperhitungkan untuk pengecualian. Pertama, market share /threshold bahwa perjanjian lisensi tidak menjadi masalah, sepanjang tidak melebihi persentase tertentu ( di Jerman 30 % pangsa pasar); Kedua, tidak termasuk hard core or black list restriction, misalnya, pengusaha memiliki pangsa pasar yang rendah, namun karena Hak Cipta nya mampu memproduksi dengan harga rendah, maka price fixing juga illegal jika terkait dengan pangsa pasar.
Apakah Hak Cipta dengan hak ekslusifnya dengan sendirinya menjadikan posisi dominan (dominant position) di pasar? Harus ditentukan dulu apa yang dimaksud pasar terkait (relevant market), kemudian tentukan apa yang dimaksud pangsa pasar (market share)? Hak ekslusif mungkin secara ekonomi menjadi monopoli karena dengan kemampuan Hak Ciptanya, seorang pengusaha dapat membuat produk dengan kualitas tinggi dan mungkin dengan harga yang lebih tinggi dari yang lain, namun bukankah pengusaha ini masih memiliki pesaing? Kadang-kadang pemegang Hak Cipta memiliki posisi dominan, namun manakala pangsa pasar pasar terlalu kecil juga tidak menjadikannya monopoli. Relevant market didefinisikan sebagai pasar dimana sirkulasi produk dan ada transmisi secara geografis. Pasar perusahaan yang dimaksud haruslah pasar yang relevan atau bagian yang substansial dari pasar tersebut. Berkaitan dengan persyaratan pasar yang relevan (common market) ada kekhawatiran bahwaa47 “ a narrowly defined market can produce the result that possession of an IPR can coincide with or contribute to a position of dominance on a market by reducing the possibilities of substitution”. Berfokus pada ‘the relevant product market’ , EC mendefinisikan sebagai:” all those products or services which are regarded as interchangeable or substitutable by the consumers, by reason of the products characteristics, their prices and their intended to use”. Pendefinisian ini akan berpengaruh pada penetapan adanya posisi dominan. Ada beberapa persyaratan yang harus dibuktikan :48
- Pangsa pasar perusahaan dibandingkan dengan kekuatan aktual maupun potensial dari para pesaingnya pada pasar
- Dengan melihat apakah perusahaan menguasai kontrol harga
- Hambatan untuk masuk ke pasar termasuk derajat integrasi vertikal perusahaan, biaya-biaya yang timbul kala masuk pasar dan keunggulan tekhnologinya dibanding para pesaingnya, misalnya karena divisi R&D sudah dikelola dengan baik.
Prinsip persyaratan ini dikembangkan oleh ECJ dalam upayanya memberikan solusi yang terbaik atas konflik di satu sisi penerapan aturan pergerakan bebas dari arus barang dan jasa (free movement of goods and services) dan di sisi lain scope perlindungan Hak Cipta secara nasional. Apakah masih ada pengusaha yang mampu menawarkan produk substitusi (substitute ability)? Posisi dominan yang memungkinkan penyalahgunaan hak mensyaratkan bukti:49
- 1. Posisi dominan di pasar terkait dengan fasilitas esensial yang dibutuhkan. (Market dominance related to essentiality –essential facility)
- 2. Penyalahgunaan hak (abuse of right) terjadi jika bertentangan dengan :
- a. Adanya kebutuhan untuk penyediaan produk baru (providing new products)
- b. Adanya tindakannya tidak dapat dibenarkan (doing unjustified conduct)
- c. Adanya tindakan untuk menahan (sampai dibutuhkan ) pasar primer yang menimbulkan pengaruh bagi pasar sekunder yang lain (reserving another market).
Selain itu dalam salah satu syarat aturan persaingan, tercakup fasilitas essensial (Essential Facilities) yang terkait dengan Essential Facilities Doctrine yang dikenal luas di Negara-negara Eropa dan Amerika, walaupun dengan cara penerapan yang berbeda. Premise dasarnya sama yaitu: “Pemilik fasilitas dalam kondisi tertentu diwajibkan untuk memberikan akses bagi pihak lain”.50 Prinsip ini didesain untuk menciptakan tanggunggugat bagi pelaku usaha selaku pihak yang memonopoli dan mengontrol apa yang disebut dengan ‘ essential facilities’ . Artinya pengusaha bersalah jika menolak secara aktual ataupun potensial akses dari pesaing atas fasilitas tersebut, manakala fasilitas tersebut secara layak tidak dapat ditiru dan tidak ada pembenaran secara teknis ataupun bisnis untuk penolakan akses.
Teori ini dikembangkan sebagai penetapan tanggunggugat yang berbeda dari apa yang selama ini secara tradisional dikenal sebagai ‘ refusal to deal’ atau ‘monopolization’. Doktrin ini berfungsi sebagai ‘ res ipsaloquitur.’51 Jadi ‘essential facilities doctrine’ dibutuhkan untuk memberikan akses bagi masyarakat. Doktrin ini sebagai alat Bantu analisis kasus-kasus Antitrust, terutama jika tidak mudah untuk menentukan apakah ada penyalahgunaan HKI atau Pemegang HKI bertindak sesuai skope monopoli yang didasarkan pada hak ekslusif (exclusive right) nya, seperti dalam kasus Magill. 52
Kasus Magill menyangkut Radio Telefis Eireann(RTE) dan Independent TV Publication (ITP). Umumnya penduduk di Irlandia dapat menerima siaran program televisi RTE, ITV dan BBC. Namun demikian pada saat itu, tidak ada satupun panduan program televisi mingguan yang tersedia bagi pangsa pasar disana. Setiap stasiun televisi menerbitkan panduan program siaran yang secara ekslusif menyangkut daftar program siarannya secara mingguan dan hal tersebut dilindungi Undang-Undang Hak Cipta di Negara Irlandia dan Inggris Raya (United Kingdom) untuk mencegah tindakan penggandaan (reproduction) oleh pihak ketiga. Demikian halnya RTE menerbitkan sendiri panduan program televise mingguannya , sedangkan ITV melaksanakan tindakan yang serupa melalui ITP suatu perusahaan yang didirikan khusus untuk itu. ITP, RTE dan BBC melaksanakan kebijakan perusahaan yang terkait dengan penyebarluasan daftar program siaran dengan ketentuan sebagai berikut: (a) mereka menyediakan jadual program siaran secara gratis berdasarkan permintaan bagi majalah mingguan dan berkala berkaitan dengan lisensi tanpa royalty dan menetapkan syarat-syarat dan kondisi tertentu agar informasi tersebut dapat digandakan; (b) penerbitan daftar program siaran secara harian dan bila terdapat hari libur, maka daftar siaran diterbitkan untuk dua hari sekaligus. Daftar ini dapat diterbitkan oleh media dengan persyaratan khusus yang terkait dengan bentuk publikasi; (c) publikasi dalam “high light” mingguan juga diberikan, namun ITP, RTE dan BBC menekankan secara ketat persyaratan lisensi bahkan melalui jalur proses lembaga hukum jika dibutuhkan atas tindakan publikasi yang bertentangan dengan persyaratan mereka. Magill TV Guide Ltd. (Magill) berusaha untuk menerbitkan panduan siaran televise mingguan secara komprehensif, namun tindakan tersebut dicegah oleh RTE dan BBC yang meminta penetapan sementara pada pengadilan (injunction relief) untuk mencegah Magill menerbitkan panduan program televisi mingguan. Magill meminta kepada Komisi Persaingan untuk menetapkan bahwa RTE dan BBC telah menyalahgunakan posisi dominan mereka sebagai pemegang Hak Cipta karena menolak untuk memberikan lisensi atas publikasi panduan siaran televisi mingguan mereka. Komisi Persaingan Eropa menetapkan bahwa ada pelanggaran atas Article 86 EC Treaty dan memerintahkan ketiga perusahaan televisi tersebut untuk membatalkan persyaratan dan kondisi perjanjian lisensi dengan cara memasok program siaran yang diinginkan Magill berdasarkan basis non diskriminasi (secara equal sama dengan) daftar program siaran mingguan mereka dan mengizinkan pihak ketiga untuk melakukan tindakan penggandaan daftar program siaran tersebut. Komisi juga menekankan bahwa jika ketiga perusahaan televisi tersebut memilih untuk memberikan izin penggandaan program siarannya, maka royalty yang diminta haruslah layak.
Dalam kasus tersebut, dimana terdapat perbedaan dua pasar yakni:
- fasilitas essensial sebagai pasar primer (essential facility as the first market) yaitu TV program sebagai pasar informasi
- 2. pasar sekunder (secondary market) yaitu daftar acara TV (TV listing)
Posisi dominan di pasar artinya Hak Cipta adalah legal, namun dengan Hak Ciptanya seorang pengusaha tidak diizinkan untuk membangun pasar essensial (essential facility as the first market) sedemikian rupa sehingga mengecualikan pesaing pada pasar sekunder (secondary market). Jadi dengan posisi dominannya seorang pengusaha tidak boleh menahan dan memonopoli pasar sekunder. Untuk itu terkait dengan fasilitas essensial, disyaratkan pengusaha untuk mengizinkan munculnya produk baru, sehingga jika pengusaha tersebut menolak memberikan lisensi berarti dia menyalahgunakan haknya (abuse of right). Dalam hal ini pengadilan harus memperhatikan keseimbangan kepentingan kedua belah pihak yakni pemegang Hak Cipta dan konsumen pengguna berdasarkan “Inherently Theory” yang dikembangkan di Amerika. Namun di Jerman pemegang Hak Cipta dapat meluaskan hak ekslusifnya jika konsumen akan menikmati kualitas yang tinggi, produk baru dan harga yang bersaing.
Dalam praktek di beberapa Negara seperti Amerika dan Eropa, aturan hukum Persaingan dijadikan basis untuk penilaian adanya penyalahgunaan HKI ataupun Hak Cipta dalam konteks ini, sebagaimana pernyataan di bawah ini:53
EC Competition Law in recent years has quite dramatically demonstrated its capacity to regulate the exercise of Intellectual Property Rights (IPRs). In Magill54 the Court of Justice confirmed that the European Commission has the power to end abusive refusal to license by imposing a compulsory copyrights license. In other recent cases, the Court of Justice has held the Competition rules in the Treaty may be used as the basis to prevent IPRs owner from acquiring competitors firms with similar technology,55 using aggressive discounting and pricing scheme56 and engaging in products bundling57
Dalam kaitan aturan HKI dan aturan Persaingan Drexl menyatakan ada 2 (dua) type persaingan (competition) yakni:58
- Kompetisi dengan pengganti (competition by substitution)
- Kompetisi dengan imitasi (competition by i by imitation )I dan posisi dominan di pasar untuk memberikan lisensi untuk mengizinkan munculnya produk baru, sehingga jika menolak memberikan lisensi
Hak eklusif dalam HKI adalah untuk mencegah pihak lain melakukan persaingan dengan cara meniru (competition by imitation). Mengingat perlindungan HKI sebagai incentive yang mampu mendukung kegiatan inovasi, kreativitas. Namun demikian jika ada pihak lain yang meminta lisensi secara sukarela (voluntary) ditolak oleh pemegang HKI, maka berarti tidak ada kemungkinan membangun produk substitusi (competition by substitution). Akibatnya tidak dapat dihindarkan akan timbul persaingan dengan cara meniru (competition by imitation). Dengan demikian hanya competition by substitution yang dapat dijadikan pembenar (justification) untuk mengesampingkan pihak lain yang akan melakukan competition by imitation. Dengan membiarkan adanya competition by imitation karena menolak memberikan lisensi, maka hal ini dapat merusak kreativitas dan inovasi. Jadi pemegang HKI pada umunya atau Hak Cipta secara khusus harus memberikan lisensi (non voluntary licence) bahkan jika ditetapkan di undang-undang bisa bersifat lisensi wajib (compulsory licence) dan memperoleh royalty atau remuniration. Tindakan penolakan oleh Pemegang HKI termasuk oleh Pencipta atau Pemegang Hak Cipta berdasarkan Hak Eksklusifnya untuk memberikan lisensi, apalagi terkait dengan fasilitas essensial (essential facility) adalah penyalahgunaan hak ( misbruik van recht atau abuse of right) yang merusak prinsip Persaingan Sehat (fair competion).
III.Penutup
Kebutuhan untuk memberikan penghargaan (reward), perangsang (incentive) bagi Pencipta/ Pemegang Hak Cipta tidak langsung membenarkan “imunitas” Hak Cipta dari aturan-aturan hukum Persaingan Sehat (fair competition) secara efektif di pasaran. Perkembangan kasus-kasus tersebut merupakan bukti kuat bahwa pemegang HKI secara umum dan Pencipta/Pemegang Hak Cipta secara khusus tunduk pada extra tier aturan hukum Persaingan. Pengaturan hukum Persaingan dan penerapannya dalam eksploitasi Hak Cipta untuk menjamin bahwa pemberian hak ekslusif (exclusive rights) tidak menimbulkan penyalahgunaan hak (misbruik van recht atau abuse of right). Untuk itu UU No. 5/1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat , khususnya ketentuan Pasal 50 huruf b seharusnya dihapus atau didefinisikan ulang.
** Pengajar dan Praktisi Hak Kekayaan Intelektual Fakultas Hukum Universitas Airlangga
1 Konsep John Locke tentang Human Rights adalah Life , Liberty and Property.
2 Asalkan ciptaan pencipta memenuhi standard of copyright’s ability.
3 HKI (Intellectual Property Rights) terdiri dari dua besaran utama yakni :
- Hak Cipta dan Hak Terkait (Copyrights and Related Rights)
- Hak Atas Kekayaan Industri (Industrial Property Rights) yang mencakup
- Paten (Patent) Termasuk Paten Sederhana (Utility Models)
- Perlindungan Varitas Tanaman (Plant Variety Rights)
- Merek (Trademarks)
- Indikasi Geografis (Geographical of Indications)
- Desain Produk Industri (Industrial Design)
- Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu (Design Lay-Out of Topographics of Integrated Circuits)
- Perlindungan Informasi yang Dirahasiakan (Protection of Undisclosed Information) Termasuk Rahasia Dagang (Trade Secret)
Rahmi Jened, “ Pengelolaan Hak Kekayaan Intelektual Sebagai Salah Satu Income Generating Dalam Menyongsong Kemandirian Universitas Airlangga ,Orasi Ilmiah Dalam Rangka Dies Natalis Universitas Airlangga yang ke-49, Surabaya, 10 November 2003, h.3-5.
4Earl W. Kintner dan Jack Lahr, An Intellectual Property Law Primer, Clark Boardman, New York, 1983, h. 346-349.
5 Arthur Miller dan Michael H.D., Intellectual Property: Patent, Trademark and Copyright, West Publishing, St. Paul Minn, 1990, h.290.
6 James Lahore, Intellectual Property Law In Australia , Butterworth, Sydney, h. 80-83. bandingkan dengan Earl Kintner, Op. Cit., h. 346 – 349..
7William S. Strong, The Copyrights Book (The Practical Guide), Fourth Ed., NIT Press, Cambridge, 1993, h.1
8 Rahmi Jened, Hak Kekayaan Intelektual: Penyalahgunaan Hak Eksklusif, Airlangga University Press, Surabaya, 2006, h. 78-91.
9Pasal 2: “ Hak Cipta adalah hak ekslusif bagi Pencipta…yang timbul secara otomatis…” . Pasal 35 Ayat (4) : “ Ketentuan pendaftaran …. tidak merupakanm kewajibanuntuk mendapatkan Hak Cipta”. Pasal 36:” Pendaftaran ciptaan dalam Daftar Umum Ciptaan tidak mengandung arti sebagai pengesahan atas isi, arti, maksud atau bentuk dari ciptaan yang didaftarkan”.
10Pengumuman adalah pembacaan, penyiaran, pameran, penjualan, pengedaran, atau penyebaran suatu ciptaan dengan menggunakan alat apapun, termasuk media internet, atau melakukan dengan cara apapun sehingga suatu ciptaan dapat dibaca, didengar atau dilihat orang lain ( Pasal 1 Angka 5) . Hak ini dalam bahasa Inggris mencakup hak pengkomunikasian pada masyarakat (the communication to the pulic right) dan hak pendistribusian (distribution right).
11Perbanyakan adalah penambahan jumlah suatu ciptaan , baik secara keseluruhan maupun bagian yang sangat substansial dengan menggunakan bahan-bahan yang sama maupun tidak sama, termasuk mengalihwujudkan secara permanen atau temporer (Pasal 1 Angka 6). Hak ini dalam bahasa Inggris dinamakan hak perbanyakan (reproduction right).
12Hak penyewaan untuk menyewakan untuk kepentingan yang bersifat komersial dialihbahasakan dari rental right, sedangkan hak peminjaman yang bukan untuk tujuan komersial dialihbahasakan dari lending right. Hak penyewaan menjadi kewajiban untuk diatur oleh negara anggota berdasarkan TRIPs jika ditengarai di negara tersebut tingkat pembajakannya tinggi.
13Pendekatan Civil Law System “natural right justification” yang memandang hak cipta sebagai suatu hak-hak dasar yang diberikan pada si pencipta tanpa melihat konsekuensi ekonomi dan politik yang lebih luas; Tujuan hak cipta adalah memberikan reward (penghargaan) bagi si pencipta dan ini merupakan argumen moral; Merupakan “author’s right system” sebagai penekanan perlindungan personality pencipta melalui ciptaannya lebih daripada perlindungan karya cipta itu sendiri. Rahmi Jened, Perlindungan Hak Cipta Pasca Persetujuan TRIPs, Yuridika, 2001, h. 25. mengutip Elizabeth (Libby) Baulch, “ Copyright”, Makalah Pelatihan HKIBagi Staf Pengajar Perguruan Tinggi, FH Universitas Airlangga –Tim Keppres 34- IASTP, Surabaya, 10-25 September 1996, h. 1-4.
14 Pendekatan Common Law System adalah “functionalist justification” yang memandang hak cipta sebagai instrumen ekonomi dan kebijaksanaan meningkatkan pengetahuan dan mendukung per-kembangan sosial ekonomi ; Tujuan hak cipta sebagai incentive bagi penciptaan lebih lanjut yang pada gilirannya sebagai incentive bagi produser, penerbit dan promotor yang telah mengambil resiko guna pemasaran dan penjualan karya-karya cipta. Merupakan “copyright system” yang cenderung untuk memberikan perlindungan bagi karyanya daripada kepentingan si pencipta itu sendiri. Ibid.
15Ibid., h. 72.
16 Informasi Manajemen Hak Pencipta adalah informasi yang melekat secara elektronikpada suatu ciptaan atau muncul dalam hubungan dengan kegiatan pengumuman yang menerangkan tentang suatu Ciptaan , Pencipta, dan kepemilikan hak maupun informasi persyaratan penggunaan, nomor atau kode informasi.
17 Michael Hart, “The Copyright in the Information Society Directive: An Overview”, E.I.P.R., Issue, 2, Sweet & Maxwell, 2002, h. 58-64.
18 Gillian Davies, Public Interest, Thomson, Sweet& Maxwell, London, 2002, h. 4-6.
19 Ibid.
20 Lie Westerlund, Loc.Cit. Nuno Pires de Carvalho, Op.Cit., h. 91-93.
21 Gillian Davies, Op.Cit., , h.x. Bisa juga dibaca pada Yvonne Cripps, Op.Cit., h. 235-236.
22 Martin Sentftleben, Copyright, Limitations and Three Step Test in International and EC Copyright Law, Kluwer Law, 2003, h. 7- 10. Bisa juga dirujuk pada Mark Rose, Authors and Owners, Harvard University Press, Cambridge, 1993, 1-9.
23 Ibid.
24 Martin, Op.Cit., h. 213-215 Bisa dirujuk kasus lain di Jill Mc Keough dan Andrew Steven, Ocopyright in Australia, Butterworth, Sydney, h. 196.
25Henry Campbell Black, Op. Cit. h. 919-920.
26 Philip Griffith, “The Agreement on TRIPs”, ToT of IPR, UTS, Sydney, September 1997 (selanjutnya disebut Philip Griffith III), h. 23.
27 Di Indonesia apabila hal tersebut ditafsirkan sebagai bertentangan dengan kesusilaan dikaitkan dengan Pasal 1335 BW , maka perjanjian tersebut tidak mengikat dan dianggap batal demi hukum (nietig). Penafsiran juga dapat dilakukan berlandaskan syarat sahnya perjanjian (Pasal 1320 BW ) , bahwa perjanjian yang mengandung klausula penyalahgunaan keadaan ditafsirkan adanya cacat kehendak yang menyebabkab batal demi hukum.Peter Mahmud Mz Peter Mahmud Mz II, Op.Cit., h. 522-523.
28Sogar Simamora, Simamora, Sogar, “Penyalahgunaan Keadaan Sebagai Bentuk Pelanggaran Terhadap Asas Kebebasan Berkontrak”, Yuridika No. 4 Tahun VII, Juli-Agustus, 1993, h. 50-60.
29 Prinsip umum yang diekspresikan dalam rumusan “ Itikad Baik” ( bonne foi, redellijkheid en billijkheid atau true und glauben atau good faith) secara objektif harus diperhitungkan setiap saat dalam kontrak dan manakala ada klausula yang bertentangan dengan prinsip tersebut dengan sendirinya tidak dapat diterapkan. Dalam upaya untuk menentukan apakah kontrak lisensi yang mengandung klausula yang bertentangan dengan prinsip itikad baik tersebut dianggap sebagai tindakan penyalahgunaan hak atau bersifat tidak sewajarnya, pengadilan harus mempertimbangkan seluruh kondisi dan situasi pada saat kontrak tersebut dibuat, termasuk klausula yang terdapat dalam kontrak dan penggunaan sebagai kebiasaan dalam praktek perdagangan pada umumnya dan tujuan dari perlindungan HKI diberikan dan rasionalisasi dari adanya pembatasan hak ekslusif yang ada.52 Kepemilikan dan kebebasan berkontrak tetap ada batas-batasnya.
30 Indonesia mengatur bahwa perjanjian Lisensi berlangsung selama jangka waktu lisensi diberikan dan berlaku untuk seluruh wilayah negara Republik Indonesia (Pasal 45 Ayat (2) UU No. 19/2002, namun tidak ada kejelasan prinsip exhaustion right apa yang dianut.
31 tanpa nama, ”Online Delivery and the Application of the Exhaustion Rule”, tanpa penerbit, tanpa tahun, h.1.
32 Silvia Zarpellon, “The scope of The Exhaustion Regime for Trademarks Rights”, ECRL 2001, 22(9),382-389, h.1. Bisa dibaca dalam Felix Prandl,” Exhaustion of IP Rights in The EEA Applies to Third Country Goods Placed on The EEA Market”, ECRL 1993, 14 (2), 43-45, h. 1.
33Pengadilan Eropa secara esensial menetapkan bahwa Treaty of Rome yang merupakan basis pendirian Uni Eropa terkait dengan Free Movement of Goods (pergerakan bebas dari barang) di antara negara anggota. Sterling memiliki Paten di Inggris dan di Belanda untuk suatu obat tertentu. Centrafarm membeli obat dari salah satu anak perusahaan (subsidiary) Sterling di Inggris dengan harga normal kemudian mengapalkan obat tersebut untuk dijual di Belanda. Sterling menggugat berdasarkan pelanggaran Paten. Pengadilan menetapkan bahwa penjualan atas dasar kesepakatan atau persetujuan Sterling di Inggris mutlak mengakibatkan exhaustednya hak Paten di negara anggota lainnya dan oleh karena itu tidak ada pelanggaran dengan adanya penjualan obat oleh Centrafarm di Belanda. Dengan demikian jika penjualan pertama dari satu barang dibuat atau dijual di bawah lisensi, maka pemberi lisensi tidak lagi memiliki kontrol terhadap distribusi dari barang tersebut. Prinsip exhaustion right ini dapat saja berlaku secara regional, nasional ataupun internasional. Prinsip ini dikembangkan oleh ECJ dalam upayanya memberikan solusi yang terbaik atas konflik di satu sisi penerapan aturan pergerakan bebas dari arus barang dan jasa (free movement of goods and services) dan di sisi lain dengan ruang lingkup (scope) perlindungan HKI secara nasional. John. W. Scliscel, Op. Cit., h. 221-223. Bisa juga drujuk Goevera, Op.Cit., h. 132.
34 Martin , Op. Cit., 330-334.
35Stephen Sya Lieing Siew, “Competition Policy in The EC = The Role of The Treaty Provisions Relating to State Aids and Public Undertaking”, Malaysian Law, http=/www.cljlaw-com/mem-bercentry/articles. Bisa baca juga pada First Report on Competition Policy.
36 Ibid., h. 1 .
37 Ibid.
38 Ibid.
39 Diundangkan pada tanggal 5 Maret 1999 yang diberlakukan secara efektif setelah setahun diundangkan.
40 HKI merupakan rezim kepemilikan yang merupakan realisasi kebebasan individu yang menjadi basis filosofis asas kebebasan berkontrak (freedom of contract). Asas ini menimbulkan asumsi dasar bahwa ”perikatan yang bersifat kontraktual diperbolehkan dan setiap perikatan kontraktual yang dibuat dalam keadaan bebas adalah benar adanya (Maxim valenti non fit mura). Artinya bahwa bila seseorang telah mengetahui adanya bahaya, namun ia dengan sukarela masuk dalam bahaya itu, maka ia dianggap telah memperhitungkan resikonya dan ia tidak dapat menuntut ganti rugi jika kemudian resiko itu memang timbul. Dengan asumsi dasar semacam itu pembentuk undang-undang menganggap bahwa para pihak yang terlibat dalam perjanjian HKI masing-masing sudah menyadari posisinya dan manakala telah berniat untuk masuk dalam kesepakatan yang ada, maka masing-masing telah sadar akan resikonya. Menurut penulis , hal inilah yang menjadi argumentasi dikecualikannya perjanjian HKI dari ketentuan UU No. 5/1999. Peter Mahmud Mz, “ Telaah Filosofis UU Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat”, Yuridika Vol. 16, No.6 November 2001 , h. 522-523. Bisa dirujuk dalam Henry Campbell Black, Op.Cit., h. 812.
41 Secara umum penyalahgunaan hak (abuse of right) diartikan sebagai: The principle that a person may be liable for harm caused by doing something the person has a right to do, if the right is exercised:
(1) for the purpose or primary motive of causing harm;
(2) without a serious and legitimate interest that is deserving of judicial protection;
(3) againts moral rules, good faith or elementary fairness ; or
(4) for the purpose than its intended legal purpose.
.Henry Campbell Black, Op.Cit., h.1528.
42 Kasus ini terkait dengan perjanjian distribusi yang diadakan oleh Grundig (Jerman ) yang menunjuk Constent (Perancis) yang memberikan hak distribusi bagi Consten untuk mendistribusikan produk Grundig di luar Perancis dan Consten disyaratkan untuk membuat investasi yang substansial untuk pasokan suku cadang dan jasa perbaikan secara layak. Consten setuju untuk tidak menjual produk pesaing dan tidak akan mengirimkan barang dalam teritori yang disepakati. Grundig meyakinkan Consten bahwa pembatasan yang sama berlaku untuk distributor yang lain. Consten menggugat atas dasar persaingan curang berdasarkan hukum Perancis melawan pesaing Jerman yang merupakan sumber penjualan produk Grundig di Perancis, sehingga merupakan pesaing paralel produknya (parallel impor).55
Kasus ini kemudian dibawa ke European Court of Justice (ECJ). Grundig mencoba untuk mencari pengecualian dari Article 81 (Ex. Art.85 ) yang menetapkan dua tipe pengecualian pemberlakuan aturan persaingan yakni :
- a. pengecualian perjanjian yang diadakan oleh perusahaan dalam satu grup (Group exemption)
- pengecualian yang diadakan oleh individual (Individual exemption)
Grundig menyatakan bahwa Article 295 (Ex. Art.222) EEC Treaty membuat Article 81 (Ex. Art. 85)EEC Treaty menjadi tidak berlaku dalam kasus ini, sehingga yang belaku adalah hukum merek nasional yang membolehkan pembagian wilayah pemasaran. ECJ memutuskan bahwa: “The injunction…to refrain from using the right under national trademark law in order to set an obstacle in the way of parallel import does not affect the grant of those rights , but only limits their exercises to the extent necessary to give effect to the prohibition under Article 81 (Ex. Art. 85)EEC Treaty”. Jadi dalam hal ini pengujian pelaksanaan hak (exercise) merek tidak mencakup eksistensi hak (existence) kepemilikan merek yang diatur dalam hukum nasional. Drexl , Loc.Cit.
43 Ibid.
44 Steven D. Andermen, EC Competition Law and Intellectual Property Rights-The Regulation of Innovation, Oxford University Press, 1998, h. 6-7.
45 Pasal 3 UU No. 5/1999 bahwa Tujuan diterbitkannya undang-undang bersebut untuk :
(1) menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional;
(2) mewujudkan iklim usaha yang kondusif;
(3) mencegah praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat;
(4) tercipta efektivitas dan effisiensi dalam kegiatan usaha.
Tindakan tersebut juga tidak sesuai dengan asas yang diatur dalam Pasal 2 UU No. 5/1999 bahwa :” Pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan usahanya berasaskan Demokrasi Ekonomi dengan mempertimbangkan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum”.
46 Stephen Sya Lieng Siew, Op.Cit., h. 1
47 Ibid. Dapat juga dirujuk pada Steve Anderman, Op.Cit., 178
48 Ibid.
49 Drexl, Loc.Cit.
50 Frank Fine,” NDS/IMS: A Logical Application of Essential Facilities Doctrine”, ECRL 2002, 23(9), 457468, h. 2.. Bisa juga dirujuk pada Allan Kezsbom dan Alan V. Goldman, “No shortcut to Antitrust Analysis: The Twisted Journey of the ‘Essential Facilities’ Doctrine, Columbia Business Law Review, 9 December 1996,h. 1.
51 the thing speaks for itself” . Jika sesuatu menyebabkan kerugian , tanpa adanya unsur kesalahan korban, yang dapat ditunjukkan adanya kontrol ekslusif dari pihak tergugat dimana kesalahan tersebut tidak akan terjadi jika telah diambil penggunaan control secara layak Hal ini merupakan bukti adanya kelalaian dari pihak yang memiliki kontrol atas sesuatu tersebut. Henry C. Black, Op.Cit., h. 1305.
52 Inge Govaere, Op.Cit., h. 251Bisa juga dirujuk pada Joseph Drexl, Op.Cit., h. 98.
53 Steven Andermen, Op.Cit, h.3-5.
54 RTE Commission (1995) ECL 743 dalam Ibid.
55 Tetra Pack Raising v. Commission (1995) 4 ECR II.309 Ibid.
56 Tetra Pack II (1997) 4 CMLR 662. Ibid.
57 Hilti AG v. Commission (1990) ECR II -1439 Ibid.
58 Drexl, Copyright and Unfair Competition, Kuliah pada Pelatihan dalam Rangka Kerjasama Masyarakat Uni Eropa dan Asia di Bidang Hak Kekayaan Intelektual (European Community and ASEAN Intellectual Property Rights Co-operation Programme – ECAP II), European Patent Office (EPO) bekerjasama dengan Max Planck Institute, Munchen- Jerman, 11Januari 2005