LISENSI DAN ALIH HAK

LISENSI  DAN PENGALIHAN HAK ATAS MEREK*

Oleh: Rahmi Jened**

I. PENDAHULUAN

Setiap orang atau organisasi perusahaan yang ada, akan sangat peduli akan pentingnya merek. Merek (trademark) sebagai Hak Kekayaan Intelektual (HKI) pada dasarnya adalah tanda untuk mengidentifikasikan asal barang dan jasa (an indication of origin) dari suatu perusahaan dengan barang dan/ atau jasa perusahaan lain. Melalui merek, pengusaha dapat menjaga dan memberikan jaminan akan kualitas (a guarantee of quality) barang dan/ atau jasa yang dihasilkan dan mencegah tindakan persaingan yang tidak jujur  (unfair competition) dari pengusaha lain yang beritikad buruk yang bermaksud membonceng reputasinya.

Merek sebagai sarana pemasaran dan periklanan ( a marketing and advertising device) 1 memberikan suatu tingkat tertentu kepada konsumen mengenai barang dan/ atau jasa yang dihasilkan pengusaha. Lebih-lebih dengan perkembangan periklanan baik nasional maupun internasional dewasa ini dan dalam rangka pendistribusian barang dan jasa membuat merek semakin tinggi nilainya. Merek yang didukung dengan media periklanan membuat pengusaha memiliki kemampuan untuk menstimulasi permintaan konsumen sekaligus mempertahankan loyalitas konsumen atas produk barang dan/ atau jasa yang dihasilkannya. Inilah yang menjadikan merek sebagai suatu keunggulan kompetitif (competitive advantage)  bahkan menjadi the ownership advantage 2untuk bersaing di pasar global.

Merek merupakan benda bergerak yang tidak berwujud yang mempunyai nilai komersial yang sangat tinggi. Hak ini timbul karena kemampuan intelektual manusia dengan pengorbanan waktu, tenaga, dan biaya yang tidak sedikit. Baik sebagai obyek kepemilikan (eigendoms atau ownership) maupun sebagai obyek kekayaan (vermorgen atau property), hak merek dapat dialihkan dan atau dilisensikan oleh pemiliknya kepada pihak lainnya.

Berkaitan dengan lisensi dan pengalihan hak merek, Pasal 21 Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights Including Trade in Counterfeit Goods ( selanjutnya disingkat Persetujuan TRIPs) 3 yang menentukan : “Members may determine conditions on the licensing and assignment of trademarks”. Hanya yang menjadi masalah , “ Bagaimana peranan negara dalam rangka perjanjian lisensi dan pengalihan hak?” Hal ini mengingat bahwa perjanjian lisensi maupun pengalihan hak merek merupakan perjanjian yang tunduk pada asas kebebasan berkontrak  (freedom of contract)

II LISENSI

Lisensi merupakan cara yang paling banyak dilakukan untuk mengeksploitasi hak merek dan setrategi pemasaran yang paling jitu. Penunjukkan distributor dan franchising merupakan setrategi pemasaran melalui perjanjian lisensi, contohnya, MC DONALD, PIZZA HUT, dan lain-lain.

Perjanjian lisensi (licensing agreement) : “A personal privilage to do some particular act or series of act on land or other property without possessing any estate or interest therein, and it ordinarily revocable at the will of the licensor and is not assignable”.4 Lisensi berbeda dengan pengalihan hak, lisensi adalah suatu izin keistimewaan pribadi untuk melakukan beberapa tindakan khusus biasanya dapat ditarik kembali atas kemauan pemberi lisensi dan bukan merupakan pengalihan hak. Pemilik merek yang berposisi sebagai Licensor tidak kehilangan kontrol atas merek yang dilisensikannya kepada Licensee.dan pihak Licensee tidak memiliki hak yang mutlak selain yang diizinkan oleh pihakl Licensor.

Pasal 40 Persetujuan TRIPS yang mengatur Pengendalian Praktek Persaingan Curang dalam Perjanjian Lisensi menetapkan antara lain :

Members agree that some licensing practices or conditions pertaining to intellectual property rights which restrain competition may have adverse effect on trade and may impede the transfer and dissemination of technology. Nothing in this agreement shall prevent members from specifying in their legislation licensing practies or conditions that may in particular cases constitute an abuse of intellectual property rights having an adverse effect on competition in the relevant market…

Persetujuan TRIPS menyatakan bahwa negara anggota sepakat beberapa praktek perlisensian dan persyaratannya yang terkait dengan HAKI yang menghambat persaingan dapat berakibat buruk terhadap perdagangan dan menghambat alih dan penyebaran teknologi. Persetujuan TRIPs mengizinkan negara anggota untuk menetapkan didalam peraturan perundang-undangan nasionalnya praktek perlisensian atau persyaratan yang dalam hal-hal tertentu merupakan penyalahgunaan HAKI yang berakibat buruk terhadap persaingan. Hal senada disampaikan oleh Philip Griffith5 bahwa:” It is one criticism aimed at intellectual property system that the legal monopoly right provide opportunities for right owner to engage in anti competitive arrangement when granting licences and permission to use sought after right”

Dalam UUNo. 15/2001 Tentang Merek Pasal 43 sampai dengan 49  dituangkan political will pemerintah untuk melakukan pengawasan terhadap praktek perjanjian lisensi dan jaminan agar perjanjian lisensi tidak bertentangan dengan kepentingan umum melalui penetapan kriteria persyaratan dan kewajiban pencatatan perjanjian lisensi.

Pasal 47 UU No. 15/ 2001 menentukan : “Perjanjian lisensi dilarang memuat ketentuan yang langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan akibat yang merugikan perekonomian Indonesia atau memuat pembatasan yang dapat menghambat kemampuan bangsa Indonesia untuk mengembangkan dan menguasai teknologi pada umumnya”. Berdasarkan pasal tersebut ada 2 (dua) kriteria larangan perjanjian lisensi, yakni:

  1. tidak  menimbulkan akibat yang merugikan perekonomian Indonesia
  2. tidak  menghambat kemampuan bangsa Indonesia untuk mengembangkan dan menguasai teknologi pada umumnya

Dalam praktek hal tersebut merupakan question of fact, namun sebagai indikasi tercermin dari klusula yang bersifat :

  1. a. Grand back provision
  2. b. Tying restriction
  3. Restrictive business practices (r.b.p)

Grand back provision6 adalah setiap perbaikan, inovasi dan pengembangan yang dilakukan licensee (penerima lisensi) terhadap merek yang dilisensikan oleh licensor

pemberi lisensi) memberikan hak bagi licensor (pemberi lisensi) untuk menggunakannya.

Tying restriction diartikan sebagai an agreement by a party to sell one (tyung) product but only on the condition that the buyer also purchases a different (tied) product7”. Tying restriction umumnya menyangkut perbuatan Licensor yang mengikat licence untuk membeli bahan baku pada licensor atau  pihak yang ditunjuk licensor dengan dalih menjaga kualitas produk. Contoh kasus dalam hal ini dapat dilihat dalam Krehl v. Baskin Robbins, supra8. BASKIN ROBBINS adalah merek terkenal. Para penerima lisensi (licensees) dari BASKIN ROBBINS disyaratkan untuk menggunakan barang-barang yang terkait dengan ice cream, seperti barang kertas kemasan dan lain-lain dari BASKIN ROBINS. Padahal perjanjian lisensi yang ada hanya menyangkut merek BASKIN ROBBINS, resep serta proses rahasia untuk pembuatan ice cream BASKIN ROBBINS.

Klausula Restrictive business practices (r.b.p) ada pada price restriction, territorial restriction, field of use and customer restriction, output restriction serta packaging licensing.9 Pembatasan harga (price restriction) baik secara horisontal diantara dua kompetitor atau secara vertikal dari ‘hulu ke hilir’ untuk membatasi harga penjualan kembali dari perusahaan dengan tingkat yang berbeda dapat merupakan perbuatan melawan hukum (illegal), contohnya, dalam kasus Yentsch v. Texaco. Inc.10 dimana TEXACO menetapkan harga minimum secara illegal. TEXACO dalam upayanya menaikkan (omzet) penjualan produknya, menyarankan para dealernya (termasuk YENTSCH) untuk menurunkan harga dengan jumlah tertentu. Untuk penurunan harga ini TEXACO menyediakan sebagian harga pendukung (price support) yang diperhitungkan dari seluruh harga jual. Namun demikian, dealer diminta dengan biayanya sendiri menutup biaya-biaya yang lain, agar mereka dapat memperoleh price support yang disediakan TEXACO.

Exclusive Dealing Restriction dapat dikategorikan sebagai penyalahgunaan HAKI. Kesepakatan eksklusif (exclusive dealing) digambarkan dalam situasi dimana seorang pembeli setuju untuk membeli suatu produk barang atau jasa secara eksklusif kepada pembeli tertentu. Meski tidak dapat diingkari persetujuan yang demikian memberikan manfaat bagi masing-masing pihak, namun jika kesepakatan eksklusif tersebut bersifat tidak layak akan dapat dinyatakan tidak sah. Sebagai ilustrasi dapat dilihat dalam kasus Magnus Petroleum v. Skelly Oil Co11 . Perjanjian distributor dibuat dengan menentukan bahwa distributor membeli, sedangkan pemasok (suplier) menjual sejumlah tertentu gasoline setiap tahunnya. Jumlah yang diperjanjikan ternyata kurang dari dua pertiga dari total persyaratan suatu distributor, sehingga

distributor gagal memenuhi kebutuhan yang ada di daerah tersebut. Dalam hal ini

konsumen  tidak dapat memenuhi kebutuhan gasoline nya.

Ketentuan Pasal 47 UU No.15/2001 merupakan bentuk pengawasan Negara  melalui penetapan standardisasi ( alat ukur). Untuk itu seyogianya diekspresikan secara jelas dan tidak menimbulkan multiinterpretatif serta dalam pelaksanaannya harus ada  equity. Ketentuan tersebut sebagai rambu-rambu agar tercapai equitability12 di antara para pihak (licensor maupun licensee) dalam perjanjian (kontrak) lisensi. Ketidaksamaan posisi para pihak antara licensor dan  licensee dalam perjanjian lisensi diakui dan dipadukan secara harmoni (preserving harmony), sehingga jangan sampai  terjadi penyalahgunaan keadaan  (misbruik van omstandigheden atau undue influence sebagai bentuk abuse of dominant position). 13 Pengaturan yang sama  men genai perjanjian lisensi apakah termasuk atau tidak  persaingan curang terdapat di beberapa Negara, seperti Jepang menetapkan white-black and grey list. 14

Selanjutnya Pasal 43 ayat (3) UU no. 15/ 2001 menetapkan    bahwa:” Perjanjian lisensi wajib dimohonkan pencatatannya pada Ditjen dengan dikenai biaya dan akibat hukum dari pencatatan perjanjian lisensi berlaku terhadap pihak yang bersangkutan dan terhadap pihak ketiga”.  Dalam hal ini ada beberapa catatan yang patut dikemukakan.  Pertama, dahulu redaksi yang dipakai adalah pendaftaran. Pendaftaran memiliki arti  pemberian hak yang berbeda dengan redaksi pencatatan yang memiliki arti pengadministrasian sedangkan eksistensi haknya sudah ada pada pemilik merek dan tidak dipindahkan. Pencatatan sebagai sarana informasi bagi pihak-pihak yang berkepentingan. Kedua, argumentasi bahwa pencatatan berfungsi untuk mengetahui jumlah dan bentuk alih teknologi yang terkait dengan merek yang dilisensikan dan agar dapat diproyeksikan alih teknologi di masa yang akan datang15 dapat dibenarkan. Namun apabila kewajiban pencatatan didasarkan pada pertimbangan bahwa dalam banyak hal pihak Indonesia berposisi sebagai penerima lisensi (licensee) yang untuk itu harus dilindungi. Hal ini tentu saja tidak dibenarkan karena sebagai suatu proteksi terselubung merupakan tindakan yang tidak sesuai dengan prinsip transparency dan non discrimination ( most favoured nation dan national treatment) yang menjadi prinsip WTO. Ketiga, menurut hemat penulis,  ketentuan pencatatan  perjanjian lisensi tidak sesuai dengan asas freedom of contract yang telah diterima sebagai suatu asas yang fundamental dalam hokum kontrak. Pemerintah boleh menetapkan suatu prescribing rules bukan regulating order16.

Tidak dipenuhinya  kewajiban pencatatan perjanjian lisensi  tidak menimbulkan sanksi hokum yang tegas, kecuali bahwa perjanjian tidak berlaku terhadap pihak ketiga.Ketentuan semacam ini terkesan agak berlebihan.  Hal ini mengingat bahwa perjanjian memang pada dasarnya bersifat privity of contract hanya berlaku bagi pihak-pihak yang membuatnya. Kepentingan pihak ketiga dengan sendirinya sudah harus diperhitungkan oleh para pihak yang membentuk perjanjian tersebut guna memelihara harmonisasi dan kelancaran aktivitas bisnis. Sebenarnya dalam rezim hokum perjanjian (kontrak) terdapat beberapa ketentuan yang menjamin kepentingan pihak ketiga, antara lain asas itikad baik, kelayakan dan kepatutan termasuk sarana penyelesaian sengketa dll.

Pasal 43 Ayat (1) UU No. 15/ 2001 menetapkan bahwa : Pemilik merek terdaftar (licensor)berhak memberikan lisensi kepada pihak lain dengan perjanjian bahwa penerima lisensi (licencee) akan menggunakan mereknya untuk sebagian atau seluruh jenis barang dan jasa”. Perjanjian lisensi berlaku untuk seluruh wilayah Negara Republik Indonesia dan untuk jangka waktu yang tidak lebih lama dari jangka waktu perlindungan merek terdaftar yang bersangkutan, kecuali di perjanjian lain, (Ayat 2).

Perjanjian lisensi yang dicatat dalam Daftar Umum Merek dan diumumkan dalam Berita Resmi Merek oleh Ditjen akan dikenai biaya (Pasal 44 Ayat (4) UU No. 15/ 2001). Dalam hal ini Ditjen HAKI akan mempertimbangkan :

  1. merek tersebut sudah terdaftar dalam kantor merek. Hal ini berkaitan dengan first to file system (stelsel) konstitutif yang memberikan perlindungan hukum setelah merek didaftarkan;
  2. lisensi merek hanya dapat didaftar jika merupakan merek pribadi dari perorangan atau badan hukum dan bukan merek kolektif (yang merupakan merek dari suatu group tertentu);
  3. hanya merek yang masih berlaku jangka waktu perlindungan hukumnya yang dapat dijadikan objek perjanjian lisensi. Hal ini mengingat, jika jangka waktu pendaftaran suatu merek telah habis 10 (sepuluh) tahun serta tidak ada perpanjangan maka akan hapus pula perlindungan hukumnya.
  4. perjanjian lisensi tidak bertentangan dengan Pasal 47 UU No. 15/ 2001.

Pemilik merek terdaftar yang telah memberi lisensi kepada orang lain tetap dapat menggunakan sendiri atau memberi izin kepada pihak ketiga lainnya untuk menggunakan merek tersebut, kecuali diperjanjikan lain (Pasal 44 UU No. 15/ 2001). Pembentuk undang-undang pada dasarnya mengatur perjanjian lisensi yang bersifat non eksklusif (non exclusive licensing). Dengan demikian, jika diinginkan pihak ketiga lainnya tidak dapat menggunakan merek yang bersangkutan, maka harus dibuat perjanjian lisensi yang bersifat eksklusif (exclusive licensing).

Pasal 45 UU No. 15/ 2001 menentukan bahwa  dalam perjanjian lisensi dapat ditentukan pihak pemberi lisensi (licensor) dapat memberikan ijin kepada penerima lisensi (licensee) untuk memberikan lisensi lebih lanjut kepada pihak ketiga (sub licensee) melalui  perjanjian sub-licence. Kenyataan praktek menunjukkan bahwa pada umumnya pemilik merek yang sudah terkenal (lebih-lebih secara internasional) akan tidak mudah memberikan hak sub-licence sebagaimana tersebut diatas. Lain halnya jika merek yang bersangkutan baru saja hendak diperkenalkan kepada masyarakat.

Selanjutnya Pasal 46 UU No. 15/ 2001 menentukan bahwa penggunaan merek terdaftar di Indonesia oleh penerima lisensi dianggap sama dengan penggunaan merek tersebut oleh pemilik merek. Ketentuan ini pada dasarnya untuk menghindari kemungkinan penghapusan pendaftaran merek yang tidak digunakan untuk perdagangan barang atau jasa dalam waktu 3 (tiga) tahun berturut-turut atau lebih seperti yang diatur dalam Pasal 50 UU No. 15/ 2001. Dalam hal ini, pemilik merek tidak menggunakan sendiri mereknya, namun merek digunakan untuk pemegang lisensi. Penggunaan merek tersebut oleh pemegang lisensi dianggap sama dengan penggunaan oleh pemilik merek yang bersangkutan.

Lazimnya suatu perjanjian lisensi dibuat dalam bentuk akta otentik, yaitu suatu akta yang dibuat oleh pejabat yang berwenang. Perjanjian ini dibuat antara pemilik merek terdaftar dengan pihak (orang atau badan hukum) lain sebagai penerima hak dengan tujuan untuk menggunakan merek yang bersangkutan. Perjanjian lisensi menurut Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) sekurang-kurangnya harus memuat hal-hal sebagai berikut17 :

1)      nama dan alamat lengkap para pihak;

2)      merek dan nomor pendaftarannya yang menjadi obyek perjanjian lisensi;

3)      ketentuan-ketentuan akan hal-hal sebagai berikut :

a)      jangka waktu perjanjian lisensi

–          berapa lama

–          dapat atau tidaknya jangka waktu diperjanjang

b)      penggunaan merek yang diberikan lisensi untuk seluruh  atau sebagian

c)      apakah boleh diadakan sub-licence?

yaitu suatu lisensi yang diberikan kepada pihak ketiga oleh penerima lisensi;

d)     pemberi lisensi wajib melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap mutu barang dan jasa yang diproduksi dengan merek yang dilisensikan;

e)      jangkauan berlakunya lisensi

–          wilayah tertentu

–          seluruh wilayah RI

f)       pada prinsipnya pemilik dapat diperbolehkan untuk memakai sendiri atau melisensikan lagi mereknya kepada pihak ketiga, kecuali dalam perjanjian lisensi yang bersangkutan diatur secara tegas larangan itu;

g)      penentuan royalti dan cara pembayaran.

Umumnya ditentukan berapa persen dari omzet bruto;

h)      tidak boleh bertentangan dengan kepentingan ekonomi Indonesia.

Adakalanya merek terdaftar yang diberikan lisensi kemudian dibatalkan atas dasar adanya persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek terdaftar lainnya. Pembatalannya telah dinyatakan oleh Pengadilan Negeri dengan keputusan yang telah memperoleh kekuatan pasti, sehingga timbul keadaan si penerima lisensi akan dirugikan karena pembatalan itu. Dalam hal yang demikian ini, maka :

  1. Penerima lisensi yang beritikad baik tetap berhak melaksanakan perjanjian lisensi sampai dengan berakhirnya jangka waktu perjanjian lisensi (Pasal 48 Ayat 1 UU No. 15/ 2001).

Hal ini sebagai konsekuensi logis jaminan penggunaan merek yang bersangkutan terhadap cacat hukum atau gugatan pihak ketiga (clausula vrijwaring) yang seyogianya diberikan oleh pemberi lisensi. Jadi, pada dasarnya si penerima lisensi harus dapat memakai merek yang bersangkutan secara aman terhadap tuntutan pihak ketiga;

  1. Penerima lisensi tidak wajib meneruskan royalty (yang seharusnya masih wajib dilaksanakannya kepada pemberi lisensi yang dibatalkan), melainkan royalty tersebut wajib dibayarkan kepada pemilik merek yang tidak dibatalkan (Pasal 48 Ayat (2) UU No. 15/ 2001). Sesuai dengan perjanjian lisensi, maka royalty dibayarkan kepada pihak yang berhak untuk memberikan lisensi merek.
  2. Dalam hal pemberi lisensi (atas merek yang dibatalkan) sudah menerima sekaligus royalty dari penerima lisensi, maka pemberi lisensi (yang dibatalkan) wajib menyerahkan bagian dari royalty yang diterimanya kepada pemilik merek yang tidak dibatalkan yang besarnya sebanding dengan sisa jangka waktu perjanjian lisensi. Dalam hal ini sesuai perjanjian lisensi, pihak pemberi lisensi (Pasal 48 Ayat (3) UU No. 15/ 2001) yang dibatalkan mereknya wajib menyerahkan bagian dari royalty yang telah diterimanya kepada pihak pemilik merek yang telah berhasil meminta pembatalan merek yang bersangkutan.

Adapula kemungkinan, setelah adanya pembatalan merek yang dilisensikan, ternyata si penerima tidak ingin melanjutkan perjanjian lisensi yang bersangkutan dengan pihak yang berhasil meminta pembatalan merek tersebut, maka si penerima lisensi berhak meminta kembali sisa royalty bersangkutan dari pihak pemberi lisensi semula (yang kemudian dibatalkan).

Setelah pembahasan panjang lebar tersebut di atas, maka dapat kita ketahui adanya hak dan kewajiban masing-masing pihak (pemberi dan penerima lisensi) secara bertimbal balik. Hak dan kewajiban itu meliputi :

a)      Hak-hak

1)      Pemberi lisensi (licensor)

–          menerima pembayaran royalty seperti yang ditetapkan dalam perjanjian

–          tetap berhak menggunakan sendiri mereknya, kecuali sudah dinyatakan bahwa hal tersebut tidak diperkenankan dalam kesepakatan yang diambil para pihak;

–          dapat menuntut pembatalan lisensi merek, apabila si penerima lisensi tidak melaksanakan perjanjian sebagaimana mestinya.71.

2)      penerima lisensi (licensee)

–          mendapatkan jaminan penggunaan merek yang dilisensikan dari cacat hukum atau gugatan dari pihak ketiga (clausula vrijwaring);

–          memberikan persetujuan atas pengajuan permintaan penghapusan merek yang bersangkutan pada kantor merek;

–          berhak untuk menggunakan merek yang dilisensikan sesuai dengan perjanjian lisensi yang ada;

–          berhak menuntut pembayaran kembali bagian royalty yang telah dibayarkan olehnya kepada pemberi lisensi yang mereknya kemudian dibatalkan;

–          berhak mengadakan perjanjian sub-license yaitu hak untuk memberikan lisensi lebih lanjut kepada pihak ketiga sesuai perjanjian

b)      Kewajiban

1)      pemberi lisensi (licensor)

adalah kebalikan dari apa yang menjadi hak penerima lisensi (licensee)

2)      penerima lisensi (licensee)

adalah kebalikan dari apa yang telah menjadi hak pemberi lisensi (licensor)

Perjanjian lisensi tidak secara otomatis akan diberikan pencatatan oleh kantor merek karena masih harus dilakukan pemeriksaan atas :

a)      isi perjanjian lisensi;

b)      kelengkapan persyaratan lainnya.

Syarat dan tata cara permohonan pencatatan perjanjian lisensi akan diatur dengan Keputusan Presiden (Keppres). Dahulu ketentuannya adalah jangka waktu untuk pemeriksaan permohonan pencatatan perjanjian lisensi adalah 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal penerimaan permintaan pencatatan. Permohonan yang kurang lengkap harus sudah dilengkapi selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak diterimanya surat permintaan pemenuhan kelengkapan dari kantor merek. Permohonan yang tidak dilengkapi dalam waktu yang telah ditentukan dianggap ditarik kembali. Anggapan penarikan kembali pencatatan perjanjian lisensi diberitahukan kepada pemohon dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari sejak berakhirnya jangka waktu 30 (tiga puluh) hari tersebut diatas. Selanjutnya perjanjian lisensi yang telah dicatat oleh kantor merek diberikan salinan pencatatannya kepada penerima dan pemberi lisensi dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak dicatat dalam DUM.

Suatu lisensi dapat berakhir karena hal-hal sebagai berikut :

  1. masa berlakunya seperti yang ditentukan dalam perjanjian lisensi telah habis;
  2. merek yang bersangkutan dibatalkan karena bertentangan dengan  :

–          Pasal 4 UU No. 15/ 2001

–          Pasal 5 UU No. 15/ 2001

–          Pasal 6 UU No. 15/ 2001

  1. perjanjian lisensi dibatalkan atas dasar putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang pasti (in Krachvan) atau merek yang bersangkutan telah dihapus dari DUM
    1. karena adanya permintaan dari pemilik merek
    2. atas prakarsa Ditjen HAKI karena merek yang besangkutan ternyata tidak digunakan berturut-turut selama 3 (tiga) tahun atau digunakan untuk jenis barang atau jasa yang tidak sesuai dengan apa yang didaftarkannya.

Dengan berakhirnya perjanjian lisensi, maka Ditjen HAKI dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sejak tanggal penerimaan pemberitahuan atau putusan yang bersangkutan akan menghapus pencatatan merek tersebut dari Daftar Umum Merek, kemudian diumumkan dalam Berita Resmi Merek serta diberitahukan secara tertulis kepada pihak-pihak yang berkepentingan.

III PENGALIHAN HAK

Pengalihan hak merupakan tindakan pengalihan seluruh atau sebagian kekayaan, kepentingan atau hak seseorang. Pengalihan (assignment) diartikan56 : “the act of transfering to another all or part of one’s property, interest or right. A transfer of making over to another of the whole of any property, real or personal, in possesion or in action, or of any kind estate or right here in. It includes transfers of all kind of property”.

Pasal 40 UU No. 15/ 2001 menentukan bahwa hak atas merek terdaftar dapat beralih atau dialihkan karena  :

a)      pewarisan

b)      wasiat

c)      hibah

d)     perjanjian

e)      sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan.

Pengalihan merek terdaftar dengan cara tersebut diatas harus dilakukan secara notarial atau dengan akta otentik yang dibuat dihadapan notaris57. . Selain itu untuk pengalihan merek yang terdaftar harus disertai dokumen-dokumen yang bersangkutan, yaitu :

a)      Surat permintaan pendaftaran merek;

b)      Sertifikat merek;

c)      bukti-bukti lain yang mendukung.

Pengalihan merek yang dilakukan dengan cara perjanjian, sebagai contoh, merek dijual atau merek dijadikan jaminan utang. Merek merupakan intangible asset yang mempunyai nilai ekonomis yang sangat tinggi. Hanya saja dalam praktek di Indonesia merek sebagai jaminan utang masih terbatas wacana. Lembaga hukum yang dapat digunakan dalam hal ini adalah Fidusia sebagaimana diatur dalam UU No. 42/ 1999 tentang Fidusia. Fidusia adalah “pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda (Pasal 1 Ayat (1) sedangkan jaminan fidusia adalah (Pasal 1 ayat (2)) :

Hak dominan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam UU No. 4/ 1996 tentang Hak Tanggungan, yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fiduasi sebagai agunan bagi pelunasan uang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditur lainnya.

Berdasarkan ketentuan tersebut, nampak bahwa merek sebagai suatu kebendaan59 sebenarnya sangat prospektif untuk dijadikan jaminan. Dasar perhitungan nilai ekonomisnya tentu didasarkan pada penilaian reputasi merek di dunia perdagangan barang dan/ atau jasa, jangkauan wilayah pemasaran dan atau pendaftarannya di beberapa negara. Asumsinya, merek semakin lama akan semakin terkenal dan untuk itu nilai ekonomisnya akan semakin tinggi.

Menurut Memori Penjelasan Undang-undang, pengalihan merek yang dilakukan dengan cara “sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh UU” misalnya, merek terdaftar suatu badan hukum yang dibubarkan, diserahkan dalam rangka pembubaran oleh liquidator kepada pihak lain yang boleh meneruskan pemakaiannya dan pendaftarannya.

Menurut Pasal 40 Ayat (2) UU No. 15/ 2001 Pengalihan dimohon pencatatannya kepada Ditjen dalam Daftar Umum Merek, diumumkan dalam Berita Resmi Merek serta diberitahukan kepada pemilik. Pencatatan merek memiliki kekuatan berlakunya merek terhadap pihak ketiga. Jadi kewajiban pencatatan dimaksudkan “demi perlindungan hukum”, supaya dapat diwujudkan perlindungan yang efektif khususnya bagi penerima hak. Pengalihan merek hanya dicatat oleh kantor merek, apabila disertai pernyataan tertulis dari penerima merek bahwa merek tersebut akan digunakan bagi perdagangan barang dan jasa. Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindarkan dari tindakan percaloan merek.

Dalam Pasal 41 UU No. 15/ 2001 dinyatakan bahwa peralihan merek dapat disertai dengan pengalihan nama baik, reputasi atau hal lain yang terkait dengan merek yang bersangkutan. Dalam hal ini undang-undang mengizinkan pengalihan hak merek terdaftar baik dengan maupun tanpa pengalihan reputasi (goodwill) dalam bisnisnya. Pengalihan tanpa goodwill suatu hak merek terdaftar menjadi tidak sah (invalid) jika58

a)      pihak pengalih/pemilik hak sebelumnya tidak menggunakan merek tersebut di Indonesia atas dasar itikad baik (good faith)

b)      pihak pengalih / pemilik hak sebelumnya meneruskan untuk menggunakan merek yang sama atau hampir sama yang dapat menyesatkan pihak lain (konsumen).

Pengalihan tanpa goodwill hak merek terdaftar, harus dicermati karena meski terjadi peralihan hak, namun pihak pengalih atau pemilik hak sebelumnya sebenarnya masih memiliki kontrol atas merek yang bersangkutan.

Peralihan hak merek terdaftar karena sebab-sebab lain yang dibenarkan peraturan perundang-undangan, misalnya, berkaitan dengan adanya perubahan badan hukum yang semula adalah pemilik merek. Hal ini dapat dipahami mengingat merek sebagai intangible asset, manakala terjadi pembubaran perusahaan yang diikuti dengan likuidasi, maka hal tersebut berlaku terhadap seluruh asset perusahaan tanpa terkecuali.

Ketentuan  baru  Pasal  41 Ayat (2) UU No. 15/ 2001 menentukan bahwa : “Hak atas merek jasa terdaftar yang tidak dapat dipisahkan dari kemampuan atau keterampilan pribadi pemberi jasa yang bersangkutan, dapat dialihkan dengan ketentuan harus ada jaminan terhadap kualitas pemberian jasa”. Untuk itu perlu adanya suatu pedoman khusus yang disusun oleh pemilik merek  mengenai metode atau tata cara pemberian jasa yang dilekati merek, misalnya pengalihan merek jasa tata rias rambut harus disertai jaminan kualitas berupa sertifikat yang dikeluarkan oleh pihak pengalih, sedangkan untuk jasa lainnya bisa dibuat suatu blue print penyelenggaraan jasa yang bersangkutan sebagai pedoman operasional.  Untuk itu  intervensi Pemerintah dalam menetapkan akibat hokum perjanjian lisensi  bagi pihak ketiga  seyogianya tidak diperlukan. Tambahan pula dalam praktek lazimnya perjanjian lisensi HKI tidak dicatatkan.

Persetujuan TRIPs pada dasarnya merupakan prescribing rule yang mewadahi berbagai kepentingan Negara dalam pergaulan masyarakat internasional . Persetujuan TRIPs sebagai pedoman dalam rangka perlindungan HKI yang untuk penerapannya dikembalikan kepada negara anggota  (legislative choice) sepanjang tidak menyimpang dari  ketentuan  Persetujuan TRIPs (Pasal 1Ayat 1).  .Berkaitan dengan perjanjian lisensi, Pasal 40   Persetujuan TRIPs yang mengatur Tentang Pengendalian Praktek Persaingan Curang Dalam Perjanjian Lisensi menetapkan:

  1. 1. Members agree that some licensing practices or condition pertaining to intellectual property rights which restrain competition may have adverse effect on trade and may impede the transfer and dissemination of technology.
  2. Nothing this agreement shall prevent member from specifying in their legislation licensing practices or condition that may in particular cases constitute an abuse of intellectual property rights … Member may adopt, consistently with other provisions of this agreement appropriate measures to prevent or control such practices… in the light  of the  relevant laws and regulations of that Member.

Pasal ini pada dasarnya menetapkan suatu kontrol terhadap anti persaingan (sehat)yang mencegah penyalahgunaan hak oleh pemilik atau pemegang HKI. Persetujuan TRIPs menyerahkan kepada Negara anggota dalam menetapkan langkah-langkah untuk mencegah atau mengendalikan praktek-praktek tersebut sesuai dengan hokum dan peraturan perundang-undangan yang terkait yang berlaku di Negara anggota.

Memang tidak dapat dipungkiri bahwa dalam  praktek perjanjian lisensi  seringkali pihak pemilik atau pemegang HAKI yang berposisi sebagai Licensor mengikat pihak penerima lisensi (licensee) dengan klausula-klausula tie-in clause; restrictive business practices (r.b.p) seperti price restriction, territorial restriction, field of use and customer restriction, out-put restriction, package licensing; serta  grant- back provision.

Mengingat  kecenderungan praktek semacam itu , maka umumnya Negara, termasuk Indonesia  mencantumkan dalam perundang-undangan HKInya ketentuan mengenai pendaftaran perjanjian lisensi dan larangan perjanjian lisensi yang mengandung klausula klausula yang dapat menghambat perkembangan ekonomi dan teknologi bangsa Indonesia, sehingga apabila kontrak-kontrak lisensi mengandung klausula tersebut akan ditolak pendaftarannya  oleh Direktorat Jenderal HKI. Kewajiban pendaftaran dan larangan tersebut dapat ditemukan dalam ketentuan: Pasal 43 Ayat (3), (4) serta Pasal 47 Ayat (1), (2), (3) UU No. 15/2001 Tentang Merek

IV. PENUTUP

Dengan demikian penulis sependapat dengan Bapak Peter Mahmud bahwa  yang terpenting  agar Pemerintah meletakkan legal framework di bidang kegiatan bisnis. Berdasarkan pemikiran tersebut, ketentuan yang mewajibkan pendaftaran ( yang saat ini diperhalus bahasanya menjadi kewajiban pencatatan)  perjanjian lisensi HAKI sebagaimana di atur dalam perundang-undangan tersebut di atas, seyogianya dicabut saja . Biarkan bisnis menyikapi dan menentukan apa yang terbaik bagi kegiatannya. Negara (Pemerintah) hanya berperan sebagai fasilitator  bukan regulator.

Hokum harus bersifat fasilitatif. Perlindungan yang harus diberikan kepada rakyat guna tercapainya  social welfare melalui pemberdayaan (empowering), dan dukungan (promoting) serta penciptaan iklim usaha yang kondusif melalui hokum yang bersifat fasilitatif (law should be fasilitative).

DAFTAR BACAAN

AIPO, “Brochur Trademark Application”, Sydney, Australia, 1997.

Black, Henry Campbell, Black’s Law Dictionary, West Publishing, St. Paul Minn, 1990.

Direktorat Pencegahan dan Penyidikan Penyelundupan, “ Peranan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dalam Pengendalian Impor dan Ekspor Barang Hasil Pelanggaran HAKI”, FH UNAIR – TIM Kepres 34 – IASIP, Surabaya, 4-22 Juli 1997.

Griffith, Philip, The Aggeement on TRIPs, ToT of IPR, UTS, Sydney,  September- Desember1997

Holmes, William C., Intellectual Property and Antitrust Law, Clark Boardmann, New York 1992

Mahmud  Mz, Peter,” Lisensi Hak-hak Milik Intelektual”, Pelatihan HAKI Bagi Para Dosen Fakultas Hukum PTN Wilayah Indonesia Timur, FH Unair, Surabaya, 1-5 Februari 1999.

………………………, Catatan  dan Transparansheet Kuliah Hukum dan Globalisasi Ekonomi, PPS Unair, 2002

Jened, Rahmi, Perlindungan Hak Cipta Pasca Persetujuan TRIPs, Yuridika, Surabaya, 2000.

UU No. 7/1994 Tentang Pengesahan Persetujuan Pembentukan WTO

UU No. 15/2001 Tentang Merek


* Makalah yang disampaikan Pada Pelatihan Hak Atas Kekayaan Intelektual Bagi Para Dosen Perguruan Tinggi Wilayah Indonesioa Timur, terselenggara atas kerjasama Fakultas Hukum Universitas Airlangga dan Himpunan Masyatrakat HAKI Indonesia (IIPS). Surabaya 26 Agustus sampai dengan 5 September 2002

** Dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga

1 Australian Intellectual Property organization(AIPO),  Brochure Trademark Application, Sydney, 1997

.

2 Rahmi Jened, Implikasi Persetujuan TRIPS Terhadap Perlindungan Merek di Indonesia, Yuridika,2000,h. 2

3Persetujuan TRIPS merupakan salah satu agenda Agreement on Establishing the World Trade Organization yang telah disahkan Indonesia melalui UU No.7/1994920

4 Henry Campbell Black,  Black’s Law Dictionary, West Publishing, St. Paul Minn, 1990,h. 413.

5 Philip Griffith, The Aggeement on TRIPs, ToT of IPR, UTS, Sydney,  September- Desember1997, h. 23-32

6 Rahmi Jened,  Tugas Akhir Hukum Ekonomi dan Gobalisasi, Program Ilmu Hukum Orogram Doktor   PPS Universitas Airlangga, Surabaya, Mei 2002

7 William C. Holmes, Intellectual Property and Anti Trust Law, Clark Broadmann, 1983, h. 30.04

8 Ibid., h. 34.02

9 Ibid

10 Ibid.,  h. 30.04

11 Ibid., h. 35.02

12 Peter Mahmud Mz, Kuliah Hukum Ekonomi dan Globalisasi, Program Ilmu Hukum Program Doktor PPS Universitas Airlangga , Suranaya, Mei 2002

13 Ibid.

14 Insan Budi Maulana, Sukses Bisnis Melalui Merek, Paten dan Hak Cipta, Citra Aditya, Bandung,1996, h.94

15 Ibid,

16 Peter Mahmud Mz, Loc. Cit.

17 Sudargo Gautama  dan Rizawanto Winata, Komentar Atas UU No.19/1992 Tentang Merek dan Peraturan Pelaksanaanya, Alumni, Bandung, 1994 h. 38-42

71 Dalam Pasal 1266 KUH Perdata dinyatakan bahwa dalam perjanjian timbal balik selalu dapat diminta pembatalan apabila salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya.

.

56 Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, West Publishing, St. Paul Minn, 1990, h. 413.

57 Hak merek sebagai suatu barang bergerak yang tidak berwujud harus dialihkan dengan cara yang ditetapkan Pasal 613 KUH Perdata.

.

59 Pasal 499 KUH Perdata menetapkan kebendaan ialah tiap-tiap barang dan tiap-tiap hak yang dapat dikuasai oleh hak milik.

58 Jill Mc. Keough., Op. Cit., h.466

About rjparinduri

the Professor of Intellectual Property Rights at Faculty of Law, Airlangga University
This entry was posted in Uncategorized. Bookmark the permalink.

Leave a comment